Milenial Minim Kepercayaan pada Politisi

Dialog “Milenial Merajut Kebhinnekaan dan Persatuan”, di Gedung DPD Perwakilan DIY, Jumat (20/9/2019). (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Perilaku generasi milenial, selain identik dengan individualistik, dan sangat bergantung pada teknologi, ternyata juga apatis terhadap politik. Akibatnya, mereka juga menjadi minim kepercayaan terhadap politisi.

Bacaan Lainnya

Hal tersebut sebagaimana disampaikan Koordinator Umum Komite Independen Sadar Pemilu (KISP), Moch. Edward Trias Pahlevi dalam Dialog “Milenial Merajut Kebhinnekaan dan Persatuan”, di Gedung DPD Perwakilan DIY, Jumat (20/9/2019).

“Kita (milenial) masih bagian kedua sebenarnya, bukan bagia aktor utama dalam segi apapun, baik dalam segi sosial maupun kehidupan politik,” anggap Edward.

Menurutnya, berdasarkan hasil riset KISP terhadap 400 kaum milenial di DIY, pada bulan April – Juli 2019, faktor yang mempengaruhi kelompok milenial aktif di media sosial dalam merespon isu politik kebangsaan, hanya 19% yang menganggap, media sosial merupakan saran alternatif untuk mengekspresikan berbagai pendapat.

Sedangkan 31% menilai media sosial efektif sebagai sarana kritik dan masukan kepada pemerintah, dan separuh responden (50%) menganggap media sosial sebagai sumber informasi. Padahal, 57% tulisan hoaks beredar di media sosial (48%), seperti Instagram, Facebook, Twitter, dan Snapchat.

Oleh karenanya, KISP berharap, Negara perlu menghadirkan konsep literasi politik dengan gaya yang tak lagi monoton, melainkan konten-konten berbasis digital yang informatif dan interaktif. Mengingat, generasi milenial itu lebih suka berkolaborasi ketimbang menjadi pendengar.

“Konsep literasi politik kekinian perlu dihadirkan untuk menyadarkan generasi milenial,” imbuhnya.

Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Bambang Eka Cahya Widodo berpendapat bahwa problem yang ada di masyarakat, termasuk kalangan milenial saat ini bukan pada keberagamannya (kebhinnekaan), melainkan pada persatuannya (tunggal ika).

“Keterbelahan menjadi bagian yang sangat menghantui demokrasi,” kata mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI ini.

Bambang mencontohkan, ketika ada kelompok lain yang berbeda, maka dengan cepat mereka akan menjadi tertuduh oleh kelompok yang bersebrangan.

“Ini sebetulnya yang membelah kita,” tegas Pembina KISP ini.

Namun, imbuh Bambang, permasalahan tersebut tak hanya terjadi di Indonesia yang notabene masih baru dalam menerapkan sistem demokrasi. Bahkan di Negara Inggris dan Amerika yang lebih dulu sebagai Negara Demokrasi, persoalan yang sama juga terjadi.

Demokrasi, sebut Bambang, semestinya melahirkan nilai kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas. Hanya saja, populisme telah merusak nilai-nilai demokrasi tersebut. (Rep-01)

Pos terkait