Orang Dengan Gangguan Jiwa di Kota Yogya Diberi “Ruang” Berkreasi

Sum (jaket kuning) bersama paguyuban SHG Purwokinanti sedang membuat batik shibori (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Di sisi timur Plaza Ngasem Yogyakarta, tampak sekelompok orang tengah membuat batik Shibori. Shibori adalah sebuah kesenian di Jepang dalam hal pewarnaan kain. Teknik pewarnaan dilakukan dengan mencelupkan kain pada zat pewarna alami dan memberikan ‘perlindungan’ pada bagian kain tertentu yang tidak ingin diwarnai

Bacaan Lainnya

Di antara kerumunan tersebut, Sum, ada bersama mereka. Perempuan berambut cepak yang mengenakan jaket kuning ini adalah salah satu Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang ada di Yogyakarta.

Ia tampak akrab dengan para ibu-ibu yang tengah memproses pembuatan batik tersebut. Bahkan, ketika kabarkota.com mencoba mengajaknya berkomunikasi, perempuan 32 tahun ini juga tak mengalami kendala sama sekali.

Sum mengaku, dirinya sering mengalami halusinasi, sejak lima tahun terakhir, akibat tekanan masalah yang bertubi-tubi dalam kehidupannya. Termasuk, masalah asmara. “Saya melihat bayangan, gambar-gambar temen-temen saya, dan saya merasa tak bisa berbicara dengan baik,” ungkap Sum.

Namun kini, lanjut Sum, ia merasa lebih baik sejak mengikuti kegiatan bersama paguyuban Self-Help Group (SHG) yang dibentuk di wilayah Kelurahan, melalui Puskesmas-puskesmas di Kota Yogyakarta. Paguyuban ini mewadahi dan memberdayakan para ODGJ agar lebih produktif, sekaligus membantu mempercepat pemulihan kondisi psikologis mereka di masa penyembuhan.

Ketua Paguyuban SHG Kelurahan Purwokinanti, Kecamatan kota Yogyakarta, Jujuk mengatakan, paguyuban ini dibentuk sejak satu tahun terakhir, dengan sebagian pendanaannya dari salah satu rumah sakit swasta di Yogyakarta.

“Di Purwokinanti ada 14 ODGJ yang berusia antara 19 – 30 tahun ke atas,” sebut Jujuk, yang juga memiliki anggota keluarga dengan dengan disabilitas mental.

Jujuk menyatakan bahwa tak mudah membimbing ODGJ, di tengah stigma negatif yang masih kuat di masyarakat.

“Kadang ada masyarakat yang mengejek, sehingga perasaan minder itu masih ada,” sesal Jujuk.

Jujuk sendiri merupakan perempuan yang selama belasan tahun hidup bersama adiknya yang mengalami skizofrenia. Menurut laman Wikipedia, Skizofrenia adalah gangguan mental yang ditandai dengan gangguan proses berpikir dan tanggapan emosi yang lemah. Keadaan ini pada umumnya dimanifestasikan dalam bentuk halusinasi, pendengaran, paranoid atau waham yang ganjil, atau cara berbicara dan berpikir yang kacau, dan disertai dengan disfungsi sosial dan pekerjaan yang signifikan.

Ia menceritakan, saudara laki-lakinya mengidap gangguan kejiwaan, sejak 19 tahun terakhir karena awalnya terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Karenanya, Jujuk berharap, agar pemerintah dan pihak-pihal terkait bisa lebih memperhatikan nasib ODGJ, terutama yang sedang dalam proses pemulihan agar mereka mendapatkan akses lapangan kerja, sebagaimana masyarakat pada umumnya. Sebab dengan diberdayakan, mereka bisa lebih produktif dan membantu mempercepat proses penyembuhannya.

Menurut Undang-undang (UU) No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities), dan UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, orang dengan gangguan kejiwaan (penyandang disabilitas mental) adalah bagian dari kelompok masyarakat penyandang disabilitas. Dengan demikian, sejatinya mereka juga berhak mendapatkan jaminan perlindungan oleh Negara. (Rep-01)

Pos terkait