Pembangunan Infrastruktur Rentan Picu Kekerasan Berbasis Gender

Workshop Berbasis Gender pada Perempuan Terdampak Pembangunan Infrastruktur, di Kampus UII Yogyakarta, Rabu (15/1/2020). (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pembangunan infrastruktur yang tengah digencarkan pemerintah dinilai rentan memicu terjadinya kekerasan berbasis gender, khususnya pada kaum perempuan dan kelompok rentan.

Bacaan Lainnya

Penilaian tersebut sebagaimana disampaikan Direktur Rifka Annisa Women’s Crisis Center Yogyakarta, Defirentia One Muharomah, dalam Workshop Berbasis Gender pada Perempuan Terdampak Pembangunan Infrastruktur, di Kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Rabu (15/1/2020).

One menjelaskan, gender merupakan konstruksi sosial yang ditempatkan pada laki-laki dan perempuan berdasarkan perannya.

Menurutnya, selama ini para pembuat kebijakan seringkali tak melibatkan perempuan dan kelompok rentan dalam proses pengambilan keputusan, sehingga pembangunan yang dihasilkan juga tak berperspektif gender. Hal tersebut yang memunculkan ketidakadilan gendet sehingga yang terjadi justru ada penolakan-penolakan, termasuk dari kaum perempuan.

Hal serupa juga diungkaptkan Bambang Muryanto dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta. Ia mencontohkan, proses pembangunan Yogyakarta International Airport (YIA) yang sejak awal mendapatkan penolakan dari sebagian warga, termasuk perempuan di Temon, Kulon Progo. Penolakan itu muncul karena lahan-lahan pasir di pesisir selatan yang dijadikan lokasi bandara baru tersebut adalah lahan subur untuk pertanian.

“Para perempuan juga mempunyai penghasilan dari hasil pertanian mereka,” kata Bambang.

Saat bertani, lanjut Bambang, mereka juga bergantung pada harmonisasi alam sehingga prosesnya bisa berjalan pelan. Sementara ketika lahan-lahan itu telah digusur, mereka tak bisa serta merta beralih pekerjaan, seperti berdagang yang ritme kerjanya bisa jadi lebih cepat, karena agresif mengejar keuntungan.

“Adanya kekerasan berbasis gender itu karena ruang hidup mereka diambil dan pada saat mereka memperjuangkan hak atas ruang tersebut,” tegasnya.

Sukarelawan Pendamping Warga Terdampak Bandara Kulonprogo, Pitra Hutomo menganggap bahwa sebenarnya, banyak cara yang bisa dilakukan oleh jurnalis dalam memotret problematika perempuan terdampak pembangunan bandara YIA di Kulon Progo.

Sementara Dosen Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta, Mutia Dewi memaparkan, sejatinya pembangunan itu dari, oleh, dan untuk masyarakat, dengan tujuan swa-sembada, harga diri, dan kebebasan.

“Kalau tiga poin itu tidak terpenuhi, maka akan terjadi perlawanan,” ucapnya.

Pihaknya juga menjelaskan,selama ini pemberdayaan perempuan selalu digalakkan saat ada pembangunan infrastruktur. Tujuannya, untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, sehingga bisa menghindari penolakan-penolakan. Padahal, tidak semua fokus peningkatan ekonomi itu akan teratasi dengan pembagian lapangan kerja saja.

Pemberdayaan itu, lanjut Mutia, upaya menguatkan potensi masyarakat supaya mereka lebih berdaya. Jika masyarakat tak diberi akses dan kesempatan berpartisipasi, maka mereka tak akan bisa berdaya.

“Ketika pemberdayaan tidak melibatkan komunikasi aktif dengan masyarakat setempat, maka yang terjadi justru penolakan atau program tertunda,” anggapnya. (Rep-01)

Pos terkait