Ilustrasi (dok. kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ahmad Norma Permata menyebut, Wakil Presiden RI Terpilih, Gibran Rakabuming Raka berpeluang masuk dalam bursa pemilihan Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar, pasca mundurnya Airlangga Hartarto.
Hanya saja, Norma menduga, syaratnya akan lebih berat, karena Gibran bukan kader Partai Golkar.
“Bisa saja ini terjadi kalau pihak Jokowi berhasil mendorong perubahan AD/ART Golkar yang mensyaratkan kepemimpinan satu periode sebelum menjabat sebagai pimpinan Golkar,” kata Norma, pada Selasa (13/8/2024).
Jika Gibran masuk dalam bursa Ketum, lanjut Norma, maka persaingannya akan terlihat jauh lebih kasar dibandingkan dengan masuknya Bahlil Lahadalia atau Luhut B. Pandjaitan yang notabene sesama kader Partai Golkar yang dekat dengan Jokowi.
Norma berpendapat bahwa situasi di internal Golkar itu tergantung pada sosok yang akan menjadi Ketum. Termasuk, isu masuknya nama Bahlil sebagai salah satu calon Ketum.
“Bahlil adalah orang dekat Presiden, Joko Widodo (Jokowi) yang kemungkinan digunakan untuk membangun basis politik pasca Jokowi pensiun sebagai presiden, karena dia tidak memiliki basis Parpol,” paparnya.
Jika Bahlil menjadi Ketua Umum Partai Golkar, Norma menduga, kemungkinan Jokowi akan masuk menjadi Ketua dewan penasehat atau sejenisnya.
Lebih lanjut Norma berpandangan bahwa sebenarnya, siapapun bisa menguasai Partai Golkar, selama secara politik dan finansial, dia mampu membawa alternatif lebih baik. Hal ini pernah terjadi, setelah Jusuf Kalla (JK) lengser sebagai Wakil Presiden, dia mampu merebut Golkar dalam Musyawarah Nasional di Bali, tahun 2004. Sebab, ketika itu, JK memberikan tawaran yang lebih baik dibandingkan Akbar Tanjung. Begitu juga saat Setya Novanto merebut posisi Golkar sebagai ketua umum yang mengalahkan prabowo dan surya paloh, pada tahun 2014. Ia terpilih karena dianggap mampu mengatur akses sumber daya untuk kepentingan Parpol. Meskipun, akhirnya ia terpeleset kasus “Papa minta pulsa”.
Selain itu, kata Norma, Ketum Partai Golkar bisa terpilih, selama mendapatkan restu dari para senior. Mengingat, secara umum, kekuasaan Partai Golkar masih berada di tangan angkatan tua tokoh-tokoh penasehat partai, seperti Aburizal Bakrie, Akbar Tanjung, dan Agung Laksono. Mereka memiliki pengaruh di jaringan Partai Nasional. Sedangkan secara operasional, Partai Golkar berada di bawah tokoh-tokoh yang lebih muda.
Oleh karenanya, Norma menduga, mundurnya Airlangga Hartarto dari Ketum Partai Golkar, karena adanya tawaran dari pihak luar yang lebih baik masa depan Golkar, baik dalam posisi politik di kabinet maupun akses sumber daya lain yang clear and clean secara hukum. Artinya, bukan uang kotor atau posisi yang meragukan. Kemudian, tawaran tersebut mendapatkan restu dari para senior, sehingga berujung pada mundurnya Airlangga tersebut.
“Jadi, ini adalah mekanisme yang normal di Golkar, meskipun jarang terjadi,” ucapnya.
Hal itu terjadi, menurutnya, lantaran Partai Golkar adalah partai yang bersifat paradoks. Di satu sisi, Ia cukup disiplin di dalam berorganisasi, dengan menjalankan mekanisme prosedurlan dalam pengambilan keputusan partai. Di sisi lain, Golkar jugasangat pragmatis. sepanjang sejarahnya, Golkar tidak pernah dan tidak akan mau berada di luar pemerintahan.
“Selama cara seperti itu efektif, maka akan tetap dilakukan di masa mendatang,” tuturnya.
Sebelumnya, pada 10 Agustus lalu, Airlangga Hartarto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai ketum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar. Kemudian, dalam video resmi yang disiarkan pada 11 Agustus, Partai Golkar menjelaskan bahwa Airlangga mundur karena ingin menjaga keutuhan Partai Golkar dan memastikan stabilitas selama transisi pemerintahan Presiden Jokowi ke Presiden Terpilih, Prabowo Subianto.
Namun, tanggal 9 Agustus atau tepatnya sehari sebelum pengumuman pengunduran diri, sejumlah media memberitakan bahwa Airlangga sempat bertemu Presiden Jokowi di Istana Presiden. (Rep-01)