Peneliti Senior PSKP UGM, Sigit Riyanto (dok. pdih.law.ugm)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Sebuah video menayangkan wawancara seorang jurnalis dari salah satu media internasional dengan Warga Negara Indonesia (WNI) eks pengikut Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), Aref Fedulla dan putrinya Nada Fedulla.
Dalam video berdurasi 3 menit 13 detik tersebut, pada intinya Nada Fedulla bercerita bahwa dirinya terpaksa harus mengubur cita-citanya menjadi seorang dokter, karena kesalahan ayahnya yang telah membawa ia dan keluarganya ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS, pada tahun 2015 silam.
Sedangkan ayah Nada, Aref Fedulla mengaku selama empat tahun terakhir di penjara tanpa tahu secara pasti kesalahannya, serta tanpa proses hukum. Keduanya sangat berharap bisa kembali ke tanah air. Hanya saja, mereka mengaku hingga kini belum ada kejelasan nasib mereka, terlebih belum ada satupun dari perwakilan Pemerintah Indonesia yang menemui dan berkomukasi dengan mereka.
Di dalam Negeri, pada awal Februari 2020 lalu di Jakarta, Menteri Agama (Menag) RI, Fachrul Razi mewacanakan pemulangan sekitar 600 WNI eks ISIS. Wacana itu pun kemudian mengundang reaksi pro dan kontra di masyarakat.
Peneliti Senior Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Sigit Riyanto berpendapat bahwa ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan sebelum memulangkan WNI eks ISIS ke tanah air.
Pertama terkait dengan hak yang melekat pada individu, yakni Hak Asasi Manusia (HAM), dan menyangkut kemanusiaan. Namun, hak itu pun harus dipilah-pilah lagi, karena mereka juga bertalian dengan keluarganya.
“Wanita dan anak-anak (semestinya) menjadi prioritas perlindungan oleh Negara,” kata Sigit kepada Kabarkota.com, Jumat (7/2/2020) malam.
Sedangkan bagi eks kombatan ISIS, menurutnya harus dilihat kembali, apakah mereka memang ingin kembali ke Indonesia.
“Jika ingin kembali ke Indonesia, maka harus melepaskan diri dari ISIS,” tegas Dekan Fakultas Hukum UGM ini.
Pemerintah, lanjut Sigit, memiliki hak plerogatif terhadap mereka, sehingga para WNI eks kombatan ini nantinya harus benar-benar tunduk pada aturan di Indonesia. Pasalnya, mereka pernah terlibat konflik bersenjata dan tindak pidana, baik pembunuhan maupun kekerasan.
“Kalau memang ada implikasi pelanggaran hukum itu, maka hukum di Indonesia bisa ditegakkan,” anggapnya.
Kedua, aspek administrasi kewarganegaraan. WNI, terutama yang berada di luar Negeri, sebut Sigit, harus tunduk pada Undang-Undang tentang Kewarganegaraan, dan Undang-Undang Keimigrasian. Bagi mereka yang telah meninggalkan Indonesia selama lima tahun berturut-turut, maka izin tinggalnya di sana harus diperbaiki, jika tidak maka ada kemungkinan mereka kehilangan status kewarganegaraannya (stateless)
“Itu akan menjadi urusan masyarakat dunia. Tapi sebenarnya, mereka yang tinggal di shelter-shelter itu juga menjadi beban bagi organisasi-organisasi kemanusian,” ucap Sigit
Saat telah berada di tanah air, pihaknya menambahkan, para WNI tersebut perlu pemantauan terus-menerus, khususnya kegiatan dari para eks kombatan.
“Ketika kembali ke Indonesia, mereka menjadi WNI sipil sehingga tidak boleh lagi melakukan kegiatan-kegiatan militer,” harapnya.
Pemantauan terhadap para WNI eks ISIS menjadi tanggung-jawab lintas kementerian, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Pemda, serta masyarakat sipil. Termasuk para tokoh agama. Mengingat hal itu terkait dengan persoalan agama, politik, ideologi, dan hukum.
Sementara adanya penolakan dari ormas berbasis agama atas rencana pemulangan WNI eks ISIS, Sigit menambahkan, jika sudah menjadi keputusan Negara untuk memulangkan mereka, maka para pihak yang menolak itu pada akhirnya perlu membantu komitmen Negara agar bagaimana para WNI tersebut bisa terpenuhi dan terlindungi hak-haknya sebagai warga negara.
“Saya kira, itu tugas pemerintah untuk meyakinkan mereka sehingga bisa mendukung terhadap kebijakan tersebut,” ucap guru besar Fakultas Hukum UGM ini. (Rep-01)