SLEMAN (kabarkota.com) – Hakim Ketua Pengadilan Negeri (PN) Sleman, Cahyono membacakan putusan sela atas permohonan penggugat intervensi atas nama Muhammad Taufik, dalam persidangan kasus dugaan ijazah palsu Joko Widodo (Jokowi), pada Selasa (10/6/2025).
“Menolak permohonan intervensi yang diajukan oleh pemohon intervensi,” tegas Cahyono.
Menurutnya, penolakan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa permohonan intervensi tidak memenuhi syarat formil dan materil, sebagaimana diatur dalam Pasal 279 hingga Pasal 282 Rv (Reglemen Indonesia yang lama).
Dalam permohonannya, pihak intervensi dinilai tidak menjelaskan secara tegas tentang hubungan hukum, kepentingan hukum langsung, maupun alasan hukum yang cukup untuk dijadikan sebagai pihak ketiga dalam perkara perdata tersebut.
“Keterlibatan pihak ketiga dalam suatu perkara perdata harus disertai dengan kepentingan hukum yang jelas dan relevan, serta tidak cukup hanya didasarkan pada keberpihakan terhadap salah satu pihak,” paparnya.
Dengan ditolaknya permohonan intervensi ini, hakim ketua memerintahkan agar pemeriksaan pokok perkara dilanjutkan, tanpa melibatkan pihak intervensi.
Selanjutnya, majelis hakim memberikan waktu satu bulan untuk kedua belah pihak melakukan mediasi. Jika rentang waktu tersebut perdamaian belum tercapai, maka mereka dapat mengajukan perpanjangan waktu lima hari lagi ke majelis hakim.
“Oleh karena itu, sidang hari ini kami nyatakan cukup dan dibuka kembali setelah Majelis Hakim mendapatkan laporan dari Hakim Mediator,” ucapnya lagi.
Penggugat Hormati Putusan Hakim
Menanggapi hal itu, Ketua Tim Kuasa Hukum Tergugat, Ariyanto menyatakan bahwa pihaknya menghormati putusan tersebut, karena hakim melihat pandangan normatifnya.
Menyinggung soal proses mediasi, Ariyanto menyatakan, pihaknya akan melihat relevansi permintaan prinsipal dari UGM untuk menyerahkan ijazah.
“Kalau tidak relevan, maka otomatis prosesnya akan kami nyatakan gagal,” tegasnya.
Penggugat Intervensi: Jangan sampai ada Ketimpangan Hukum
Sementara itu, Kuasa Hukum Penggugat Intervensi, Andika Dian Prasetyo juga mengaku menghormati putusan majelis hakim. Hanya saja, pihaknya tidak serta merta setuju dengan putusan tersebut. Satu diantaranya, hakim menyebut bahwa pemohon intervensi tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).
“Itu jelas kami tolak, karena kami jelas menggugat di Solo, dan kami juga punya kepentingan untuk menggugat menjadi intevinient dalam perkara ini, khususnya dalam perkara gugatan pak Komardin yang menggugat Rektor UGM dan lain sebagainya,” dalihnya.
Selain itu, Andika juga menekankan bahwa pengadilan adalah tempat untuk mencari keadilan. Terlebih, langkah pengajuan gugatan intervensi ini juga diikuti oleh teman-teman mantan Presiden Jokowi di Solo, dengan mengajukan gugatan yang sama.
Untuk itu, pihaknya berharap, nantinya, putusan sela di Solo juga tidak jauh berbeda dengan putusan sela dari Majelis Hakim PN Sleman hari ini.
“Jangan sampai ada ketimpangan hukum di situ. Gugatan kami tidak dikabulkan, tetapi gugatan intervensi teman-teman Pak Jokowi dikabulkan,” pintanya. Sebab, jika ketimpangan hukum terjadi, maka ini bisa menjadi gambaran buruk di masyarakat tentang keadilan di Indonesia.
Penggugat Minta 8 Tergugat Datang Langsung dalam Mediasi
Sedangkan Komardin selaku penggugat dalam perkara ini mengungkapkan, pihaknya akan menyerahkan resume mediasi, dan berharap delapan tergugat datang langsung untuk mencari jalan terbaik, dalam proses mediasi nantinya.
Terkait penolakan Majelis Hakim atas penolakan permohonan penggugat intervensi, Komardin menyatakan dirinya telah menyiapkan gugatannya hingga tuntas. Mengingat, perkara ini sudah menjadi isu nasional, dan bahkan internasional. (Rep-01)