Tangani Kasus Baiq Nuril, Ombudsman RI Nilai MA Abaikan Produk Hukumnya sendiri

Baiq Nuril (dok.suaraborneo)

JAKARTA (kabarkota.com) – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menganggap, Mahkamah Agung (MA) mengabaikan produk hukumnya sendiri dalam menangani kasus Baiq Nuril.

Bacaan Lainnya

Anggota ORI, Ninik Rahayu mengatakan, Peraturan MA (Perma) No 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan pada dasarnya untuk memberikan perlindungan terhadap warga negara dari segala tindakan diskriminasi yang merupakan implementasi dari hak konstitusional sebagaimana tertuang dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Perempuan bukan kelompok rentan, tetapi sampai dengan saat ini diketahui bahwa perempuan menjadi rentan karena diskriminasi gender,” kata Ninik.

Menurutnya, ketika Kepolisian yang memiliki Unit PPA untuk membantu mendalami posisi dan kondisi kerentanan perempuan saat berhadapan dengan hukum belum mengindahkan dimensi gender, khususnya dalam pengungkapan kasus kekerasan seksual yang dialami Korban, maka Hakim sebagai garda terakhir penegakan hukum dalam mengadili kasus terkait perempuan dan anak. Termasuk, dalam kasus Baiq. Mereka wajib menggali dan mengoreksi yang telah dilakukan Aparat Penegak Hukum sebelumnya terkait kerentanan akibat diskriminasi gender tersbut.

“Hakim tidak cukup hanya mempertimbangkan tuntutan dan dakwaan yang dibuat oleh Jaksa sebagaimana kasus-kasus tindak pidana pada umumnya, melainkan wajib menggali potensi kekerasan berbasis gender yang menjadi sebab peristiwa pidana itu terjadi,” tegas Ninik.

Hal itu, lanjut Ninik, telah termaktub  pada pertimbangan Perma tersebut, yakni kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan.

Jika dikaitkan dengan Pasal 1 angka 9 Perma no 3 Tahun 2017, maka kasus Baiq adalah bentuk “relasi kuasa yang bersifat hierarkis,” dan merugikan pihak Baiq berada dalam posisi lebih rendah.

“Pada kasus Baiq, posisi pelaku adalah atasan korban, maka dalam segala situasi Korban dikondisikan sebagai pihak yang tidak ada pilihan lain harus mengikuti perintahnya,” anggap Ninik.

Sedangkan saksi korban adalah orang yang tidak memiliki kebebasan untuk melawan kehendak atasannya. Aparat penegak hukum juga telah gagal menggali keberanian saksi korban dalam mengungkap kasus yang sulit terungkap ini.

Ninik menyatakan, ada potensi maladministrasi dalam bentuk penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan prosedur penanganan pada kasus Baiq, karena Hakim dalam mengadili kasus ini tidak mempertimbangkan proses sebagaimana yang diatur pada Perma No 3 Tahun 2017, khususnya pasal 6.

Ninik berpendapat bahwa semestinya kasus ini hendaknya menjadi pelajaran bagi kita semua terkait pentingnya mengintegrasikan HAM dan Gender pada kurikulum pendidikan sekolah secara menyeluruh, mulai dari Tingkat Dasar sampai dengan PT. Termasuk pendidikan khusus yang diselenggarakan oleh Aparat Penegak Hukum dan Aparat Keamanan. Mengingat, pengetahuan dan pemahaman yg mainstream gender sangat diperlukan dalam berbagai konteks dimensi pembangunan. (Rep-02)

Pos terkait