YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Solusi penanganan sampah di Kota Yogyakarta dalam 100 hari kerja merupakan salah satu janji politik Hasto Wardoyo – Wawan Harmawan saat kampanye Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) 2024 lalu.
Kini menjelang 100 hari kerja sejak keduanya dilantik sebagai Kepala Daerah pada 20 Februari 2025 lalu, apakah janji tersebut sudah terealisasi?

Dari pantauan kabarkota.com pada 23 Mei 2025, depo sampah Mandala Krida yang sebelumnya selalu overload dengan tumpukan sampah, kini terlihat bersih.
Tampak sejumlah gerobak sampah yang berada di dekat depo yang lokasinya persis di depan Stadion Mandala Krida Yogyakarta tersebut.
Walikota Yogyakarta, Hasto Wardoyo menilai, akhir-akhir ini, volume sampah liar di Kota Yogyakarta berkurang sangat banyak.
Menurutnya, total sampah yang sudah terangkat selama 100 hari kerjanya sekitar 22.800 ton, dengan rata-rata pengangkutan 6.400 ton per bulan, ditambah dengan pengangkatan tumpukan sampah bertahun-tahun sekitar 3.600 ton.
“Kami telah mengangkat sampah harian dan sampah yang menumpuk waktu itu selesai lima minggu. Kemudian sampah hariannya itu rata-rata 260 ton. Bahkan terkadang lebih,” ungkap Hasto di Balaikota Yogyakarta, pada 23 Mei 2025.
Hasto mengatakan, ke depan, pihaknya harus bisa mempertahankan pengelolaan sampah real time yang angkanya mencapai 1.600 ton per minggu.
” Kami sudah menyiapkan tujuh insenerator,” sambung Mantan Bupati Kulon Progo ini.
Selain itu, Pemkot Yogyakarta juga bermitra dengan dua kalurahan di Kabupaten Bantul. Yakni: Kalurahan Panggungharjo, Kapanewon Sewon dengan kemampuan pengolahan hampir 50 ton per hari; dan Kalurahan Bawuran, Kapanewon Pleret yang sedang diuji-coba dengan mengirimkan 40 ton sampah per hari.
“Penanganan sampah ini baru simptomnya. Simptom itu artinya gejala. Jadi gejala penumpukan sampah teratasi, tapi kausanya belum teratasi,” tegasnya lagi.
Oleh karenanya, sambung Hasto, Pemkot masih harus berjuang lebih keras untuk mendisplikan warga masyarakat di Kota Yogyakarta dalam memilah sampah mereka, serta menanamkan kesadaran agar tidak membuang sampah sembarangan.
Transporter Sampah jadi Andalan
Kemampuan Pemkot Yogyakarta dalam mengatasi masalah penumpukan sampah dalam 100 hari kerja itu, salah satunya tak lepas dari peran para pendorong gerobak (transporter) sampah yang ada di wilayah masing-masing.
Salah satu transporter di Kota Yogyakarta, Kuat Suparjono yang mengaku setiap hari mengumpulkan sampah sedikitnya 400 kg dari tiga RT di RW 07, Kelurahan Sosromenduran, Kemantren Gedongtengen. Termasuk didalamnya, sebagian titik di Malioboro yang notabene merupakan Kawasan Sumbu Filosofi Yogyakarta.
Kuat menjelaskan, sampah yang ia kumpulkan bersama seorang temannya itu, mayoritas adalah sampah anorganik yang tidak bisa didaur ulang. Sedangkan sampah organik yang berupa sisa makanan, biasanya ia gunakan untuk pakan ternak. Sementara sampah-sampah yang bisa didaur-ulang, seperti kertas dan botol bisa ia jual.
Pria 52 tahun ini menyampaikan bahwa dirinya bersedia menjadi transporter sampah setelah sebelumnya bekerja sebagai tukang dorong gerobak PKL Malioboro, dan tenaga kebersihan di Kawasan Tugu, Malioboro, dan Keraton (Gumaton), lantaran merasa terpanggil dengan kondisi di lingkungannya.
Meski penghasilannya tidak sebesar ketika bergabung sebagai tenaga kebersihan di Gumaton, namun Kuat merasa lebih nyaman bekerja sebagai transporter, yang setiap hari bergelut dengan sampah dari 44 Kepala Keluarga (KK) dan 16 pertokoan di Malioboro.
“Ini kampung saya, maka saya harus peduli,” kata Kuat kepada kabarkota.com, pada Kamis (24/5/2025).
Kuat menilai, sekarang kampungnya relatif lebih bersih dengan keberadaan transporter. Namun di sirip-sirip Malioboro masih banyak sampah yang belum tertangani, karena kurangnya kesadaran. “Kebanyakan sampah dari pengasong di Malioboro. Mereka membuangnya di sekitar sirip-sirip Malioboro setiap dini hari,” sesalnya.
Kendala lainnya, sebut Kuat, dalam beberapa hari terakhir ini, truk-truk pengangkut sampah di depo-depo sering terlambat hingga tak jarang membuat para pendorong gerobak sampah kesal.
“Kami mohon armada pengangkutan sampah di depo-depo jangan sampai terlambat, karena kalau sampai terlambat, waktu kami banyak terbuang untuk antre di depo,” pintanya.
Lebih lanjut Kuat berharap, Pemkot Yogyakarta juga lebih memperhatikan nasib para transporter sampah. Diantaranya, dengan memberikan fasilitas Alat Pelindung Diri berupa masker dan sepatu booth, serta BPJS Ketenagakerjaan.
Pandangan Warga soal Penanganan Sampah era Hasto – Wawan
Sementara dalam pandangan masyarakat, penanganan sampah di Kota Yogyakarta era Hasto – Wawan ini masih perlu upaya lebih keras.Terlebih di Malioboro sebagai jantungnya Yogyakarta sebagai Kota Wisata.
Salah satu pekerja di Malioboro, Amad mengatakan, setiap bulan tempat kerjanya harus menyetorkan uang Rp 100 ribu untuk biaya pembuangan sampah. Tetapi, pihaknya masih sering kesulitan menaruh sampah yang nantinya akan diambil oleh para transporter sehingga terpaksa “kucing-kucingan” dengan petugas keamanan Gumaton, karena dianggap membuang sampah sembarangan. Padahal, sampahnya dimasukkan ke dalam tong sampah.
Amad berpendapat bahwa ketika Pemkot membuat kebijakan baru, seperti masalah penanganan sampah di Kawasan Malioboro semestinya disosialisasikan secara masif terlebih dahulu sehingga tidak justru membingungkan masyarakat
Salah satu pekerja di Kota Yogyakarta lainnya, Iik juga menuturkan, meskipun sudah ada transporter sampah yang beroperasi di wilayah tempat ia bekerja, tetapi sampah-sampah dari kantornya jarang diambil semuanya. Padahal, setiap bulan, pihaknya juga mengeluarkan Rp 100 ribu untuk biaya pembuangan sampah.
“Pembayaran sampah bulanan relatif mahal, tetapi tidak diambil setiap hari, hanya sesuka hatinya si tukang sampah,” ungkap Iik kesal. Dirinya menyebut petugas hanya datang tiga kali seminggu. (Rep-01)