YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Koalisi Pemilih Kritis (KPK) menilai, meskipun rezim Orde Baru telah runtuh sejak belasan tahun lalu, namun agenda reformasi yang diperjuangkan sejak awal hingga kini belum tuntas. Hal tersebut ditegaskan KPK saat jumpa pers memperingati 16 Tahun jatuhnya Rezim Orde Baru, di kantor LBH Yogyakarta, Rabu (21/5).
Koordinator KPK, Tri Wahyu KH menyebutkan, setidaknya ada enam agenda reformasi yang masih perlu dikritisi bersama. Enam agenda itu terkait pengadilan bagi Soeharto dan kroni-kroninya, pencabutan dwifungsi ABRI (TNI), pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), penegakan supremasi hukum dan HAM, amandemen konstitusi, dan menyangkut impelementasi otonomi daerah.
"Netralitas TNI dalam Pemilu dan ketaatan terhadap hukum masih layak dipertanyakan," jelas Tri Wahyu.
Dia mencotohkan kasus Cebongan merupakan fakta kongkrit atas ketidak-taaatan aparat TNI terhadap hukum. Terkait pemberantasan KKN, ungkap dia, meskipun sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi, tapi pada kenyataannya masih ada pihak-pihak tertentu yang mencoba melemahkan lembaga negara tersebut.
Pengurus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Hamzal Wahyudin menambahkan, penegakan hukum yang masih sangat bermasalah karena pelaku pelanggaran hukumnya adalah penegak hukum sendiri. Dia juga menyayangkan belum adanya pengadilan bagi para pelaku penculikan terhadap mahasiswa dalam kerusuhan 1998 lalu, termasuk pengadilan untuk kroni-kroni Soeharto di era Orde Baru.
Aktifis COMBINE Yogyakarta, Wahyu menilai, sepanjang era reformasi, lahirnya Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran misalnya, yang semula menjadi ‘angin segar’ dalam perjalannya ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan publik.
“Kami berharap akan muncul regulasi terhadap amanat yang perlu disampaikan kepada masyarakat”, pinta Wahyu.
Sementara Tontowi dari Rifka Annisa Woman Crisis Center Yogyakarta memaparkan tentang kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dari etnis tertentu, khususnya pada kerusuhan Mei 1998 yang hingga kini tidak ada tindak lanjut proses hukumnya.
“Pada Pilpres 9 Juli mendatang, para capres-cawapres harus diingatkan pada persoalan 1998, agar perempuan dan anak lebih diperhatikan HAM-nya”, kata Tontowi. (jid/tri)