Ilustrasi (dok. fb Mapala Unisi)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Meninggalnya tiga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pasca mengikuti The Great Camping (TGC) atau Pendidikan Dasar (Diksar) bagi calon anggota Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Unisi Angkatan ke-37 Tahun 2017, mengundang keprihatinan.
Tak dipungkiri kejadian tersebut pada akhirnya menimbulkan persepsi negatif terhadap Mapala Unisi dari banyak pihak. Terlebih, masih minimnya penjelasan dari pihak panitia TGC ke-37 tentang apa yang sebenarnya terjadi selama 37 peserta mengikuti pendidikan dasar 7 hari, di kawasan Gunung Lawu, Jawa Tengah tersebut, hingga mengakibatkan hilangnya tiga nyawa.
Di sisi lain, muncul tanda tanya publik, seperti apa sebenarnya pola pendidikan yang diterapkan selama diksar Mapa Unisi? Kepada kabarkota.com, dua alumni TGC Mapala Unisi dari angkatan yang berbeda menceritakan pengalamannya saat mengikuti Diksar ketika itu.
Januar Sidharta, alumnus TGC Mapala Unisi ke-22 Tahun 1999 mengaku bahwa untuk menjadi anggota Mapala bukanlah hal yang mudah dilakukan oleh setiap orang, karena memang diksar yang diterapkan terhitung berat, baik secara fisik maupun mental. Apalagi, bagi anggota Mapala yang juga hendak mengikuti soniority camping (pendidikan lanjutan).
Menurutnya, selama mengikuti pendidikan 10 hari di kawasan Merapi, Januar bersama 33 calon Mapala lainnya mengikuti berbagai latihan, seperti pengenalan alam secara umum, navigasi darat, mountenering, dan survival
Umumnya, materi yang diberikan dalam diksar masing-masing angkatan tidak selalu sama, melainkan disesuaikan dengan situasi dan kondisi, serta didasarkan pada pertimbangan hasil evaluasi pada kegiatan sebelumnya. Termasuk lamanya peserta mengikuti TGC.
“Di jaman saya dulu ada praktiknya (simulasi) sebelum diterjunkan ke lokasi. Intinya kami dibekali semua, termasuk materi survival yang konon menjadi ‘momok’. Itu juga dibekali secara detail. Contoh yang saya masih ingat itu, bagaimana cara mengenali makanan yang bisa dimakan selama di alam,” ungkap Januar.
Itu pun, lanjutnya, pada hari pertama umumnya para peserta mengalami stress karena selain beban yang dibawa masih berat juga dalam proses adaptasi. “Istilahnya aklimatisasi. Penyesuaian fisik, suhu tubuh, dan juga mental,” jelasnya.
Tak hanya itu, para peserta yang tidak disiplin atau pun melakukan kesalahan juga menerima hukuman, mulai dari push up, jalan jongkok, berguling-guling di tanah, hingga merayap, sehingga tak jarang ada peserta yang keseleo, dan luka-luka di tubuhnya.
“Perlakuan instruktur itu memang tidak ada yang enak. Kami tidak bisa minta diperlakukan lemah lembut, karena di alam memang tidak ada pilihan, mau cepat atau mati?” ujarnya.
Hal serupa juga diungkapkan Soni Sumarsono, peserta TGC Mapala Unisi Angkatan ke-29 Tahun 2016.
Ia menambahkan, proses adaptasi itu penting untuk dilakukan secepatnya sejak berada di alam, karena jika tidak justru akan membahayakan peserta di tahap-tahap selanjutnya.
Soni juga menyatakan, saat ada peserta yang hendak mundur di tengah pendidikan, maka keputusan diserahkan ke masing-masing regu dari anggota yang bersangkutan. Namun, biasanya panitia memang akan menguatkan agar peserta tetap bertahan hingga diksar berakhir.
“Saya merasakan bahwa di alam itu, kami memang harus disiplin, menghormati alam, dan menjalin kerjasama yang baik dalam satu regu dan membuang jauh-jauh egois,” kata pria yang pernah mengikuti TGC di Merapi ini.
Sementara untuk instruktur, keduanya menyebutkan, terdiri atas instruktur tua (senior), menengah, dan muda (baru) dari mahasiswa yang masih aktif. “Tapi mahasiswa yang sudah lulus masih bisa terlibat, asalkan lulusnya maksimal baru enam bulan,” tegasnya.
Begitu pun dengan keterlibatan militer, biasanya ada pada pendidikan lanjut (seniority camping), dengan jumlah maksimal 2 personel, baik dari paskhas maupun TNI AD.
Sementara saat ditanya terkait meninggalnya tiga peserta TGC ke-37, baik Januar maupun Soni enggan berkomentar. Mereka berdalih, tidak mengetahui secara persis tentang kejadian yang sebenarnya mereka alami selama mengikuti diksar.
“Kalau itu, kami tidak bisa jawab,” ucap Januar.
Meski begitu, mereka tetap menghormati proses hukum yang tengah berjalan dan berharap kasus bisa diselesaikan secara tuntas. (Rep-03/Ed-03)