Salah satu mahasiswa UII saat membaca puisi di UIISorenyastra, pada 6 Maret 2025. (dok. kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Seorang pria jatuh tersungkur di samping stand mic saat menaiki panggung yang tak terlalu tinggi. Seketika seisi ruangan hening dan tak bergeming. Sementara pria berbaju putih itu berusaha bangkit sembari memegangi kepala. Dengan nafas terengah, dia merangkak dan terhuyun atas panggung dengan background biru bertuliskan “Muak” dan M. Mizan Habibi yang tak lain adalah namanya.
Beberapa detik kemudian, dia berdiri mendekati stand mic dan mengatakan bahwa itu adalah bagian pertama dari puisi yang ia buat spontan di atas panggung UIISorenyastra bertema Lawan Ketidakadilan, yang digelar di Ruang Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, pada 6 Maret 2025.
Aksi itu pun mendapatkan tepuk tangan dari audiens hingga membuat riuh seisi ruangan. Selanjutnya, pria yang juga dosen di Fakultas Ilmu Agama Islam UII ini melanjutkan bagian kedua dari puisi pendeknya.
“… Tuhan, maaf egoku memuncak. Ayat-ayatMu tak tampak. Puasaku palsu, tak layak…” ucapnya.
Pembaca puisi lainnya yang juga dosen UII, Ratna Permata Sari menulis judul “Berhenti Sekarang!” Melalui pembacaan puisi berdurasi 1.5 menit itu, Ratna mengungkapkan tentang paradoks yang terjadi di negeri ini.
“…Mau sampai kapan kondisi negara seperti ini? efisiensi sana-sisi, staf khusus nambah terus…,” ucap Ratna
Dia juga menyoroti tentang kekecewaan dan emosinya melihat praktik-praktik Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang meraja-lela hingga muncul tagar #kaburajadulu.
“… Berhenti sekarang! Lawan sekarang! Biar kita masih bisa menjadi Indonesia emas 20 tahun lagi,” tegas Ratna di akhir puisinya.
Sementara puisi yang dibaca oleh mahasiswa UII, Syafiiq Muhammad Yusuf bertajuk “Jeritan di Balik Tirai Kekuasaan”. Puisi ini mengkritik tentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang justru tidak berpihak pada rakyat. Meskipun rakyat sering menyuarakan ketidak-adilan tersebut
“… Kebijakan yang dibuat seringkali menindas, mengacuhkan tangis…” ucap Syafiiq dalam puisinya.
Lelaki berbaju hitam ini pun mengkritisi para politisi di parlemen yang malah mengesampingkan keadilan dan kebenaran hingga membuat rakyat semakin terpuruk dalam kesulitan.
“… Kita butuh tindakan yang nyata, tindakan yang memperjuangkan hak rakyat, memperjuangkan keadilan…,” ucapnya lagi.
Di akhir puisinya, Syafiiq menyerukan pentingnya rakyat bangkit bersuara untuk melawan ketidakadilan dan penindasan dengan suara lantang dan berani.
“… Kita akan memperjuangkan keadilan untuk semua. Keadilan yang sebenarnya, bukan hanya untuk segelintir, bukan hanya untuk yang berkuasa. Lawan!” pekik Syafiiq.
Pernyataan Sikap UII
Tak hanya pembacaan puisi, pada kesempatan ini UII juga merespon perkembangan mutakhir praktik berbangsa dan bernegara, melalui pernyataan sikap yang disampaikan oleh Rektor UII, Fathul Wahid.
Ada enam poin pernyataan sikap yang dibacakan Rektor di sela-sela UIISorenyastra. Diantaranya, UII meminta pemerintah serius melakukan pemberantasan korupsi, dengan memastikan penegakan hukum yang tegas, transparan dan tidak pandang bulu, serta meningkatkan pengawasan anggaran, dan berhenti mengembangkan narasi yang mengaburkan praktik korupsi maupun penyalahgunaan wewenang.
Di samping itu, UII menyerukan agar pemerintah memberikan jaminan bahwa efisiensi anggaran yang dilakukan harus berdasarkan transparansi, akuntabilitas dan keberpihakan pada kepentingan masyarakat luas, tanpa mengorbankan kualitas pelayanan publik dan progam sosial yang berdampak langsung pada rakyat. (Rep-01)







