Pameran Seni Rupa “I’m Possible. Ekspresikan Dirimu” di GIK UGM Yogyakarta, pada 17 – 21 Mei 2025. (dok. kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Uga sangat antusias menceritakan tentang bagaimana ia bisa membuat lukisan yang diberi judul “Kembali ke Jalan yang Benar”.
Pemuda bernama lengkap Anugrah Fadly K. ini adalah salah satu dari 43 pemuda autistik yang memamerkan lukisannya dalam Pameran Seni Rupa “I’m Possible. Ekspresikan Dirimu” di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas Universitas Gadjah Mada (GIK UGM) Yogyakarta, pada 17 – 21 Mei 2025.
Menurut Uga, lukisan itu dilatarbelakangi oleh kisah hidupnya sekitar tahun 2018. Ketika itu, ia masih kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Uga memilih hidup mandiri, dengan ngekos di dekat kampus. Namun ternyata, ia sering diajak oleh teman-temannya mengkonsumsi miras hingga mabuk.
Hal itu, kata Uga, membuat orang tuanya marah dan mengancam tidak akan lagi membiayai kuliahnya. Singkat cerita, ia sadar dan berjanji untuk lebih rajin beribadah.
Dari situ, tercetus ide untuk menuangkan cerita itu dalam bentuk “art painting” yang ia bandrol dengan harga Rp 25 juta.
“Saya harus merenungi kesalahan, dosa-dosa yang sudah lama itu,” ungkap pria yang sedang menempuh pendidikan S2 di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini.
Ayah Uga, Samudro menambahkan, setelah berhenti dari kebiasaan buruk itu, putranya bergabung dengan remaja masjid ISI Yogyakarta dan menjadi marbot di sana.
“Dia kembali ke rumah itu melukis ‘Kembali ke Jalan yang Benar’ ini. Meninggalkan miras, kembali ke jalan Allah,” papar pemilik Studio Tanjakan 98 ini.
Samudro menuturkan, ini bukan kali pertama Uga mengikuti pameran, karena sebelumnya beberapa kali dia juga pernah mengikuti pameran di dalam dan luar negeri. Bahkan, ia pernah menggelar pameran tunggal.
Dari hasil melukisnya itu, Uga mampu membiayai kuliah pasca sarjana Pendidikan Luar Biasa, dan rencananya akan melanjutkan program Doktor setelah nanti lulus dari UNY.
Tak hanya Uga, seorang pemuda autistik dari Bekasi, Ruben Rayhan R. mengaku, dirinya sudah berkali-kali mengikuti pameran seni lukis di berbagai kota. Termasuk di Singapura. Karya-karyanya tak hanya dinikmati oleh para pecinta seni, tetapi juga sebagian dibeli, dengan harga juga paling tinggi Rp 22 juta.
Dalam pameran di GIK UGM ini, Ruben menampilkan lukisan capung merah.
“Sebenarnya saya tertarik dengan warnanya yang cerah. Jadi itu tidak seperti capung yang lain,” ucap pria berkacamata ini.
Ibu Ruben, Ani bahwa menjelaskan melukis ini adalah art theraphy yang sudah Ruben jalani sejak umur 13 tahun hingga kini usianya sudah menginjak 24 tahun.
“Psikolognya menyarankan agar ia mengikuti les menggambar atau mewarnai. Tetapi kami mendahulukan yang utama, seperti terapi-terapi kemandirian. Jadi saya pikir, menggambar atau melukis itu belakangan,” paparnya.
Ani menyampaikan bahwa hal terpenting bagi para orang tua dengan anak autistik adalah penerimaan, sebelum mengembangkan bakat-bakat mereka. “Jangan malu,” pintanya.
PAI: Melukis menjadi Media Terapi bagi Anak Autistik
Hal senada juga disampaikan Ketua Komunitas Seni Pesona Autistik Indonesia (PAI), Mirah Hartika yang menerangkan bahwa melukis merupakan salah satu media terapi bagi anak autistik.
“Art therapy itu sesungguhnya sangat berdampak signifikan terhadap kognitif berkelanjutan. Tapi para orang tua masih menganggap ini tidak berguna,” sesal penggagas Pameran “I’m Possible. Ekspresikan Dirimu” ini, di GIK UGM, pada 17 Mei 2025.
Itu terjadi, lanjut Mirah, karena kurangnya wawasan dan pengetahuan mereka, khususnya di Yogyakarta. Berbeda dengan para orang tua di Jakarta yang sudah sangat agresif hingga membentuk komunitas-komunitas, seperti PAI.
Mirah menilai, Uga adalah role model PAI yang berhasil menunjukkan bahwa ia bisa memperbaiki kesehatan mentalnya melalui art therapy. Bahkan ia memiliki kognitif yang berkembang baik.
Lebih lanjut Mirah berpandangan bahwa peran orang tua sangat menentukan dalam membentuk cara berpikir anak-anak autistik.
“Walau pun mereka autistik, namun jika dikondisikan dan dikomunikasikan secara bertahap dan intens, mereka memahami,” anggap Mirah.
UGM: Yogya harus Menjadi Episentrum Seni Autistik
Sementara itu, Ketua Dewan Guru Besar UGM, Prof. Muhammad Baiquni memberikan apresiasi atas penyelenggaraan pameran kali ini, karena menjadi upaya penting dalam membangun ruang inklusif bagi anak-anak autistik.
Pihaknya berharap, melalui kegiatan ini, Yogyakarta bisa menjadi episentrum kekuatan seni bagi mereka.
“Yogyakarta harus memancarkan semangat dan gelombang harapan bagi Indonesia sehingga keluarga-keluarga yang jauh dari sini bisa merasakan gelombang ini,” harapnya. (Rep-01)