AJI akan Gabung Masyarakat Sipil Tolak Omnibus Law

Logo AJI (dok. istimewa)

JAKARTA (kabarkota.com) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memastikan akan bergabung dengan masyarakat sipil dalam menyuarakan penolakan atas pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, pada 8 Oktober 2020.

Bacaan Lainnya

Ketua Umum AJI, Abdul Manan perpendapat bahwa isu ketenagakerjaan yang ada dalam UU Cipta Kerja juga terkait dengan perjuangan kesejahteraan yang selama ini menjadi Tri Panji AJI.

“AJI menyerukan kepada anggota AJI kota di seluruh Indonesia untuk bersatu menyatakan penolakan terhadap Undang-undang Omnbus law Cipta kerja,” imbau Manan dalam siaran pers yang diterima kabarkota.com, Rabu (7/10).

Selain bergabung dengan masyarakat sipil dalam aksi unjuk rasa secara offline, AJI Indonesia juga akan menggelar sejumlah kampanye, dan aksi demonstrasi virtual. Diantaranya, aksi demonstrasi virtual selama 4 jam yang disiarkan live melalui zoom meeting dan kanal youtube AJI, mulai pukul 08.00 – 12.00 WIB.

Aksi ini, jelas Manan, akan diisi dengan orasi dari semua ketua AJI kota masing-masing sekitar 5 – 10 menit. Orasi juga bisa dielaborasikan dengan yel-yel perjuangan, puisi, aksi treaterikal, musik, dan pembentangan spanduk serta poster.

“AJI akan mengundang sejumlah perwakilan koalisi masyarakat sipil untuk bergabung menyampaikan orasi secara bergantian,” sambungnya.

Selain itu, AJI menyiapkan rilis pernyataan sikap resmi jurnalis kepada pemerintah, dan mengundang Dewan Pers untuk membubuhkan tanda tangan didalamnya.

Pihaknya juga akan melakukan kampanye melalui poster-poster penolakan terhadap undang-undang Cipta kerja, dan isu-isu kesejahteraan jurnalis yang akan diunggah di medsos masing-masing anggota AJI dengan Tagar #JurnalisTolakOmnibuslaw dan Tagar #MosiTidakPercaya.

“Kami akan menggalang petisi atau membubuhkan secara massif tanda tangan pada petisi yang sudah ada dan dihimpun oleh masyrakat sipil,” ucapnya.

Sementara Sekretaris Jenderal AJI, Revolusi Riza memaparkan tentang sejumlah pasal yang tidak pro buruh, merugikan pekerja media, serta memperburuk penyiaran Nasional.

Pertama, pasal 154 A dari UU Cipta Kerja pada intinya mengisyaratkan bahwa perusahaan dapat dengan mudah melakukan PHK terhadap pekerja

“Undang-undang Cipta Kerja membolehkan PHK dengan alasan efisiensi, perusahaan melakukan penggabungan, peleburan atau pemisahan,” sesal Riza.

Padahal, kata dia, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2012 telah melarang PHK dengan alasan efisiensi. MK berpandangan perusahaan hanya bisa memilih jalan PHK jika tutup secara permanen.

Kedua, hak memohon PHK dihapus, sebagaimana tertuang dalam Pasal 169. UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/ buruh untuk mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK), jika merasa dirugikan oleh perusahaan.

Sementara Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan,melakukan penganiayaan, penghinaan secara kasar atau mengancam. Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih.

Ketiga, kontrak tanpa batas yang diatur dalam Pasal 59. UU tersebut menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Sedangkan pada UU Ketenagakerjaan sebelumnya mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.

“Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas,” anggapnya.

Keempat, Hari libur dipangkas seperti di Pasal 79 yang juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut, dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.

“Pasal ini juga berpotensi merugikan jurnalis dan pekerja media, terutama kesehatan mental karena sebagian besar jurnalis dan pekerja media tidak punya waktu tetap dalam meliput berita,” sebutnya.

Kelima, pasal 88 mengatur tentang pengupahan yang hanya menyebut tujuh kebijakan pengupahan. Padahal sebelumnya dalam UU Ketenagakerjaan, ada 11 kebijakan.
 
Keenam, penghapusan sanksi bagi perusaah yang tidak membayar upah. Aturan pemberian sanksi bagi perusahaan yang tak mampu membayar upah pekerja/buruh sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 91 UU Ketenagakerjaan. Aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.

“Namun dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya,” paparnya.

Ketujuh, Omnibus Law UU Cipta Kerja memperburuk kondisi penyiaran nasional. Sebab, dengan pemberlakuan UU tersebut, maka Siaran Jaringan (SSJ) tidak akan berjalan, dan yang terjadi TV siaran nasional akan makin masif sehingga cenderung mematikan ekonomi kreatif lokal, bahkan budaya daerah tidak mendapatkan tempat.

Kedelapan, peran KPI dalam proses perijinan penyiaran dihilangkan. Dengan demikian, maka batas waktu perizinan penyiaran tidak lagi diatur UU, melainkan bisa jadi diatur Peraturan Pemerintah yang mungkin jadi 30 tahun atau malah 90 tahun. Bahkan, izin penyiaran bisa dipindahtangankan secara bebas sehingga menjadi komoditi.

Kesembilan, wewenang penentuan migrasi digital ditarik semua ke pemerintah. (Ed-01)

Pos terkait