Cegah Klitih dengan Penguatan Ketahanan Keluarga

Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak DP3AP2 DIY, Wredi Wiyandani (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Persoalan kejahatan di jalanan termasuk klitih hingga kini masih meresahkan masyarakat di Yogyakarta. Utamanya, bagi warga yang mobilitas kerjanya banyak dilalakukan di malam hari, seperti para pengemudi ojek online (ojol).

Bacaan Lainnya

Satu contoh kasus yang pernah dialami Wintono, salah seorang pengemudi ojol di Sleman. Ia mengaku pernah menjadi korban klitih, hingga mengalami luka serius di bagian punggungnya, pada 2017 lalu. Meski dua tahun hampir berlalu, Win mengaku, rasa trauma belum hilang dari dirinya

“Waktu itu kejadiannya sekitar jam 12.30 dini hari, saya hendak mengantar pesanan makanan ke costumer di dekat selokan mataram. Saat saya hendak belok kanan, saya melambatkan kecepatan motor, tiba-tiba saya dibacok pakai senjata tajam dari belakang,” ungkap Win, baru-baru ini.

Peristiwa yang dialami Win hanya satu dari sekian banyak kasus klitih yang terjadi di DIY, yang sebagian dilakukan oleh geng-geng anak muda, usia pelajar. Berdasarkan data hasil investigasi bagian psikologi Polda DIY, seperti dilansir dari laman UGM (12/7/2018), sedikitnya ada 35 geng pelaku klitih yang pernah ditangkap di kota Yogyakarta, 15 geng klitih di Sleman, 16 geng di Bantul, empat geng di Kulonprogo dan satu geng dari satu sekolah di Gunungkidul.

Pertanyaannya, apa yang menjadi akar persoalan hingga permasalah klitih ini terkesan tak pernah tuntas penyelesaiannya?

Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY, Wredi Wiyandani berpendapat bahwa persoalan tersebut tak lepas dari pengaruh ketahanan keluarga.

Menurut Wredi, tanggung jawab pengasuhan, bimbingan, dan pendidikan anak dalam.keluarga itu ada di orang tua masing-masing. Sementara yang terjadi sekarang, para orang tua juga sebagian besar sudah sibuk dengan dirinya sendiri, termasuk sibuk dengan gadget. Padahal, anak-anak usia remaja itu umumnya membutuhkan perhatian lebih dari keluarga dan lingkungannya.

“Anak-anak remaja ini kan istilahnya usia-usia galau. Kalau di usia ini mereka tidak mendapatkan pengarahan yang benar, dan terpengaruh oleh pergaulan dengan teman sebayanya yang mungkin sama-sama galau. Akhirnya mereka ingin menunjukkan eksistensi dengan cara-cara yang salah (klitih),” kata Wredi di Yogyakarta, baru-baru ini.

Sayangnya, imbuh Wredi, pemahaman tentang benar dan salah itu juga tak selalu mereka dapatkan. Padahal, ini menjadi bagian penting dari peran orang tua. Selain itu juga kebiasaan anak mendapatkan sesuatu secara instan sehingga menyebabkan mereka tak bisa menghargai proses.

Hal yang terpenting harus dilakukan sekarang, menurutnya adalah bagaimana mengembalikan ketahanan keluarga, dengan upaya-upaya penguatan ekonomi, sehingga anak tak terbengkalai. “Mengembalikan orang tua pada khittahnya sebagai pendidik dan pengasuh bagi anak-anaknya,” sebut Wredi. (Rep-02)

Pos terkait