Ilustrasi (dok. twitter)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pandami Covid-19 yang melanda dunia, termasuk Indonesia telah berdampak sangat besar, khususnya bagi industri. Salah satunya industri media massa yang akhirnya berimbas juga pada nasib para jurnalis.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Serikat Perusahaan Pers (SPS) mengatakan, berdasarkan Survei SPS, selama Pandemi Corona andemi Covid 19 mempunyai pengaruh signifikan terhadap bisnis pers. Menurut survei SPS, sekitar 71% perusahaan pers mengalami penurunan omset hingga 40%.
Menurutnya, hal tersebut menjadi tantangan berat, karena selama kurang lebih lima tahun terakhir, oplah pers mengalami penurunan secara signifikan.
“Jika pada 2014 total oplah media cetak secara keseluruhan mencapai lebih dari 23 juta, maka pada 2019 oplah itu hanya tinggal kurang lebih 12 juta,” ungkap Wikan dalam Webinar tentang Pers, pada Sabtu (9/5/2020).
Oleh karenanya Wikan mengaku, pihaknya telah melakukan sejumlah langkah untuk membantu bisnis Pers. Diantaranya dengan mendorong pemberian insentif oleh pemerintah, dalam bentuk relaksasi perpajakan, insentif langsung pembelian kertas koran minimal 20%, dan jaminan pengaman sosial bagi pekerja media.
Sementara Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Shinta Maharani mengungkapkan, dampak pandemi corona yang dialami oleh para jurnalis seluruh dunia, juga dalam bentuk pengurangan gaji atau bahkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Di Asia, sebut Shinta, sejumlah perusahaan media ada yang terpaksa tutup. Sedangkan di Indonesia, outlet berita di Jakarta dan di provinsi-provinsi lain telah memotong gaji pekerja media di tengah pandemi. Ruang redaksi di seluruh Indonesia terkena dampak gangguan digital dan pendapatan iklan yang menurun.
“Outlet media cetak yang paling terpukul,” sesalnya.
AJI Yogyakarta sejauh ini juga telah menerima sedikitnya 11 aduan dari jurnalis, dengan beragam kasus.
‘Beberapa media nasional mengeluarkan kebijakan tidak mengambil berita dari koresponden dengan alasan pengetatan anggaran selama pandemi. Manajemen juga menerapkan sistem kuota untuk koresponden hingga masa pandemi berakhir,” paparnya.
Karenanya Shinta mendesak agar pemerintah melakukan negosiasi dengan perusahaan-perusahaan besar, seperti Google ataupun Facebook untuk mengumpulkan pajak dari pendapatan yang mereka hasilkan. Dana-dana pajak itu bisa digunakan untuk membantu jurnalis dengan cara dikelola oleh serikat jurnalis, pekerja media, dan organisasi pengusaha.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), Masduki berpandangan bahwa, pandemi Covid-19 ini sebenarnya merupakan krisis gelombang ketiga yang terjadi pada industri pers atau media cetak.
“Gelombang pertama dan kedua adalah repolitisasi setelah reformasi dan gempuran teknologi digital,” sebutnya.
Lebih lanjut Masduki menyarankan, agar pers lebih membangun dukungan dari publik dibandingkan meminta dukunga pemerintah. Mengingat, dukungan dari institusi politik seperti pemerintah justru akan mengancam independensi pers.
“Dukungan publik penting bagi pers untuk menjaga dan meningkatkan profesionalisme melalui liputan yang independen dan objektif,” tegas Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta ini.
Ketergantungan terhadap dana pemerintah, imbuh Masduki, dapat menjadi bumerang bagi Pers, dalam situasi krisis semacam ini, terlebih ketika pemerintah kekurangan anggaran. (Ed-01)