ilustrasi (sumber: bpjs-kesehatan.blogspot.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Kehadiran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bagi masyarakat, sebenarnya bertujuan untuk memberikan jaminan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan dan perlindungan dalam pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan.
Dalam prakteknya, sebagian masyarakat sering mengeluhkan panjangnya proses birokrasi yang harus ditempuh untuk bisa memanfaatkan layanan tersebut, khususnya bagi para pasien di Rumah Sakit (RS).
Pengamat Kebijakan Kesehatan Universitas Islam Indonesia (UII), Sunarto Darsono menganggap, panjangnya proses birokrasi itu tidak lepas dengan sistem asuransi yang diterapkan BPJS, dengan pendekatan Manage care.
“Prinsipnya, untuk mencapai kendali biaya dan kendali mutu,” kata Sunarto kepada kabarkota.com melalui whatsapp, Rabu (5/11).
Konsekwensinya, lanjut dia, melalui pelayanan berjenjang yang harus masuk melalui pemberi pelayanan primer, puskesmas atau klinik dokter keluarga. Mengingat, RS bukan puskesmas besar yang bisa menerima semua pasien dengan berbagai bentuk jaminan kesehatan. “Mereka harus disaring dulu oleh layanan primer,” sebutnya.
Menurutnya, itu merupakan proses yang ideal, kecuali kondisi pasien darurat, sehingga RS harus menerima mereka terlebih dahulu. Sebab, layanan primer berkewajiban menjaga kesehatan pasien, agar senantiasa sehat. Oleh karena itu, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengutamakan pencegahan dan promosi kesehatan, dan bukan kurasi/ pengobatan.
Meski begitu, Dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran UII ini berpendapat, ke depan, tetap perlu adanya perbaikan dalam kepesertaan bantuan iuran BPJS Kesehatan itu. “Angka 86,4 juta itu siapa saja, padahal data yang ada selama ini tidak pernah beres,” anggap Sunarto.
Angkanya sepertiga jumlah penduduk indonesia, sebut dia, namun kenyataannya masih banyak masyarakat yang sebenarnya juga berhak mendapatkan kartu terebut.
SUTRIYATI