Logo LPM “Ekspresi” UNY (dok. ekspresionline)
SLEMAN (kabarkota.com) – Selama ini Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) termasuk yang cukup vokal dalam mengawal hak-hak publik, melalui tulisan-tulisan mereka, maupun turut terlibat langsung dalam gerakan-gerakan menolak kebijakan yang dianggap merugikan publik, terutama kelompok marjinal dan masyarakat rentan.
Proses pengawalan kepentingan publik itu, diantaranya tentang isu-isu konflik agraria, isu-isu perempuan dan kelompok rentan, serta isu tentang rasial.
Dalam gerakan #ReformasiDikorupsi, LPM Ekspresi UNY juga turut turun kejalan bersama puluhan ribu demonstran lainnya di jalan Gejayan Yogyakarta, pada 2019 lalu.
Kini, rencana pemerintah dan DPR untuk membahas Omnibus Law/Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja juga menjadi ancaman yang tak kalah mengkhawatirkan bagi publik.
Omnibus Law/RUU Cipta Kerja yang disebut-sebut untuk menyuburkan iklim investasi di tanah air, pada kenyataannya justru mendapatkan penolakan dari banyak pihak, terutama di kalangan buruh dan mahasiswa. Aksi #GejayanMenanggil #GagalkanOmnibusLaw yang baru-baru ini digelar di Yogyakarta adalah satu bukti kuatnya penolakan dari arus bawah.
Tak hanya kalangan buruh, para mahasiswa tak terkecuali yang tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) “Ekspresi” Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) adalah salah satu organisasi kemahasiswaan yang turut aktif menyuarakan penolakan tersebut bersama Aliansi Rakyat Bergerak (ARB).
Apa sebenarnya yang mendasari penolakan mereka terhadap Omnibus Law/RUU Cipta Kerja ini? Kabarkota.com berkesempatan mewawancarai salah satu pengurus LPM “Ekspresi” UNY, Florentina Refani, pada 17 Maret 2020.
Menurut Anda, apa yang perlu menjadi poin perhatian dalam draft Omnibus Law/RUU Cipta Kerja?
Sebelum masuk ke substansi, saya ingin menegaskan bahwa LPM “Ekspresi” UNY menyatakan diri bergabung dengan ARB. Sikap kami tegas, yakni menuntut penggagalan Omnibus Law.
Mengapa perlu Omnibus Law digagalkan?
Karena dalam proses penyusunan draft RUU-nya tidak ada transparansi, serta tidak melibatkan partisipasi publik. Jadi secara formal, ada asas yang disalahi dalam proses perumusannya. Padahal tujuan dari pembentukan suatu regulasi perundang-undangan itu untuk kepentingan publik, sehingga semestinya melibatkan partisipasi publik.
Poin apa saja yang dianggap paling memberatkan dalam Omnibus Law/RUU Cipta Kerja sehingga harus digagalkan?
Dari hasil kajian ARB, banyak pasal yang bermasalah dalam RUU tersebut. Misalnya dalam sistem penanganan lingkungan, seperti perizinan yang bertentangan dengan semangat reformasi.
Salah satu tujuan dari reformasi adalah desentralisasi. Namun dengan adanya Omnibus Law justru akan kembali ke sentralisasi. Sebab, semua permasalahan lingkungan atau perizinan itu harus melalui pusat.
Pemangkasan perizinan yang ditujukan untuk menyuburkan iklim investasi itu cenderung berpihak kepada para pemilik modal, dan memposisikan masyarakat kecil akan semakin tergusur. Bahkan, posisi masyarakat adat itu menjadi tidak ada daya tawarnya lagi di hadapan hukum yang memihak kepada pemilik modal.
Darinsisi lingkungan jelas bahwa Omnibus Law ini kontra terhadap kepentingan ekologis, karena lebih berorientasi pada pembangunan fisik dengan mengatasnamakan kepentingan publik.
Selanjutnya, masalah perburuhan yang berpotensi menghapus cuti haid. Kami menganggap, Omnibus Law/RUU Cipta Kerja itu tidak tunggal, melainkan berkaitan dengan RUU lainnya, seperti RUU ketahanan keluarga, dan kebijakan kampus merdeka.
Kami melihat bahwa antara RUU Cipta kerja dengan RUU ketahanan keluarga itu akan membatasi kiprah perempuan di ruang publik. Pasalnya, dalam RUU Ketahanan Keluarga, perempuan harus di rumah atau domestifikasi. Sementara di RUU Cipta Kerja, proses marjinalisasi perempuan dalam dunia kerja ini juga diperkuat dengan rencana penghapusan cuti melahirkan, dan cuti haid pertama.
Dari sisi Ketenagakerjaan secara lebih luas, Omnibus Law/RUU Cipta Kerja akan melemahkan posisi pekerja atau buruh, dan menguatkan posisi pemilik modal, dalam hal ini perusahaan. Misalnya, wacana penghapusan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada akhirnya akan memberu peluang besar kepada perusahaan untuk mempekerjakan buruh, dengan magang, tanpa perlu mengangkatnya menjadi pegawai tetap. Itu berarti perusahaan tidak punya kewajiban untuk memberikan tunjangan kepada buruh.
Sedangkan keterkaitan dengan kampus merdeka, kami memandang bahwa kebijakan yang memberi kesempatan kepada mahasiswa kuliah tiga semester, yang salah satunya magang kerja di perusahaan, malah cenderung menyuburkab sistem outsourcing yang sebelumnya hanya pada sektor kerja non Inti menjadi semua Lini. Mahasiswa yang magang pun terancam tidak mendapatkan upah, dengan dalih mereka sedang dalam proses belajar.
Apa yang akan dilakukan jika pembahasan Omnibus Law/RUU Cipta Kerja tetap akan dilanjutkan?
Posisi kami bukan hanya menolak tetapi juga ingin menggagalkan Omnibus Law sehingga tidak ada kompromi. Mengapa pada akhirnya kami memilih diksi menggagalkan daripada menolak? karena kami tidak akan menerima adanya Omnibus Law ini untuk diimplementasikan
Kalau misalnya nanti pemerintah tetap ngotot untuk melanjutkan pembahasan, maka kami akan tetap melakukan penolakan, seperti turun ke jalan.
Sikap kami sudah jelas ada 6 tuntutan. Pertama, gagalkan Omnibus Law, di mana ada RUU Cipta Kerja, RUU Perpajakan, RUU Ibukota Negara, dan RUU Kefarmasian.
Kedua, kami mendukung pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dan menolak RUU Ketahanan Keluarga.
Ketiga, kami menyampaikan mosi tidak percaya kepada pemerintah dan seluruh lembaga negara yang mendukung pengesahan Omnibus Law.
Keempat, kami mendukung penuh mogok nasional dan menyerukan kepada seluruh elemen rakyat untuk terlibat aktif dalam mogok nasional tersebut.
Kelima, kami melawan tindakan represif aparat dan organisasi masyarakat reaksioner. Keenam, rebut kedaulatan rakyat dan bangun demokrasi sejati. (Rep-01)