Ilustrasi: Aksi May Day 2014 di sekitar jalan Malioboro Yogyakarta (sutriyati/kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Hari Buruh Internasional yang jatuh setiap tanggal 1 Mei, selalu menjadi momentum bagi para pekerja, termasuk di Yogyakarta untuk menyuarakan aspirasi menyangkut hak-hak maupun tuntutan mereka yang belum terpenuhi sepenuhnya.
Sejarah ditetapkannya tanggal 1 Mei sebagai hari perjuangan kelas pekerja dunia tak lepas dari Konggres oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions di tahun 1886, yang ketika itu menuntut jam kerja delapan jam sehari.
Momentum itu memberikan semangat baru perjuangan kelas pekerja yang mencapai titik masif di era tersebut. Sedangkan tanggal 1 Mei dipilih, karena pemberlakuan delapan jam kerja per hari di Amerika Serikat, dimulai pada 1 Mei 1886.
Di Indonesia, perjuangan panjang para buruh untuk mendapatkan hak, 1 Mei sebagai hari libur nasional baru terealisasi pada tahun 2013. Presiden RI yang ketika itu dijabat oleh Susilo Bambang Yudhoyono resmi menandatangani Peraturan Presiden yang menetapkan bahwa 1 Mei sebagai hari libur nasional bersamaan dengan perayaan hari buruh internasional (May Day).
Akan tetapi, penetapan hari libur nasional untuk menghormati perjuangan para buruh saja masih belum cukup. Sebab, pada kenyataannya, masih banyak tuntutan yang belum terpenuhi kaitannya dengan kesejahteraan kaum buruh.
Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), misalnya, pada peringatan May Day 2017 mendatang akan menyerukan enam poin penting yang menjadi tuntutan mereka.
Di antara tuntutan itu adalah cabut PP No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang justru memiskinkan kaum buruh, perbaikan layanan jaminan sosial sehingga lebih layak dan manusiawi, penghapusan outsourcing serta pemagangan.
Selain itu, KSPSI juga menuntut hak berserikat buruh dan penghentian intimidasi, menolak revisi UU Ketenagakerjaan yang akan menghapus uang pesangon, serta mendesak pemerintah segera menyelesaikan masalah dengan PT Freeport dan melindungi para pekerjanya.
“Itu (seruan) dari DPP KSPSI Pusat, yang menjadi dasar kami di DIY melakukan aksi May Day,” kata Ketua DPD KSPSI DIY, Kirnadi saat dihubungi kabarkota.com, Kamis (27/4/2017).
Menurutnya, para buruh di Yogyakarta akan bergerak dari Tugu pal putih menuju kawasan alun-alun utara Yogyakarta untuk memeriahkan puncak peringatan May Day 2017, sekaligus menyuarakan kembali tuntutan-tuntutan mereka.
Sementara Koordinator Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI) cabang Yogyakarta, Restu Baskara berpendapat bahwa kebanyakan masalah yang dialami kaum buruh karena kebijakan negara yang berkompromi dengan kaum modal. Rezim Jokowi-JK, sebut Restu, adalah rezim yang pro terhadap kaum modal dan senantiasa membela kepentingan kaum modal walaupun saat krisis ekonomi melanda.
“PP Pengupahan adalah jawaban rezim hari ini untuk menyelamatkan krisis kapitalisme. PP Pengupahan juga memjadi cara rezim untuk membatasi gerak dari gerakan buruh dalam menuntut upah. Karena didalam logika kapitalisme, upah buruh itu dijadikan beban produksi sehingga sebisa mungkin ditekan,” anggapnya.
Karenanya, Restu sangat mengapresiasi upaya penolakan terhadap PP tersebut, yang selama ini dilakukan oleh serikat-serikat buruh di berbagai daerah.
Pengamat Perburuhan UGM, Ari Hernawan menilai dari perspektif akademisi bahwa PP No 78/2015 yang menjadi dasar penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) itu tidak berpihak kepada para pekerja.
“Ternyata sejak awal, semangst Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan itu tidak harmonis ketika diturunkan dalam PP,” ungkap Ari.
Ketidakharmonisan itu ia contohkan dari upah yang menurut undang-undangnya tidak hanya untuk melindungi pekerja tetapi juga keluarganya, namun di PP itu penghitungan upah hanya untuk pekerja saja.
Oleh karena itu, Ari menambahkan, langkah paling strategis untuk memperbaiki itu adalag dengan melakukan perubahan pasal-pasal di tingkat undang-undangnya. Masalahnya jika tidak, akan memunculkan ketidaknyamanan bagi pelaksananya. (Rep-03/Ed-03)