Kebijakan BPJS Kesehatan Dianggap Perlu Ditinjau Ulang

Peluncuran Buku “Kebijakan Pembiayaan dan Fragmentasi Sistem Kesehatan”, di UGM, Sabtu (2/3/2019). (dok. kabarkota.com)

SLEMAN (kabarkota.com) – Sistem Jaminan Sosial Nasional yang salah satunya berupa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sudah berjalan sejak 1 Januari 2014 atau sekitar lima tahun terakhir. Diakui atau tidak, program tersebut telah menolong jutaan orang, terutama masyarakat dari kalangan kurang mampu.

Bacaan Lainnya

Di Jawa Tengah (Jateng) misalnya, menurut Kepala Dinas Kesehatan setempat, Yulianto Prabowo, sekitar 17 juta peduduknya (43%) merupakan Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan. Dari jumlah tersebut, 15 juta orang menerima PBI dari pemerintah pusat, dan 2 juta peserta lainnya PBI dari pemerintah daerah.

Begitu pun di DIY, khususnya di wilayah Gunung Kidul. Direktur Rumah Sakit Umum (RSU) Pelita Husada Gunung Kidul, Santosa Aji juga menyebut, sekitar 70% pasien di rumah sakitnya merupakan peserta BPJS Kesehatan.

Namun demikian, Ketua Umum Ikatan Konsultan Kesehatan Indonesia (Ikkesindo), Supriyantoro menganggap, selama lima tahun berjalan, banyak hal yang perlu dievaluasi karena masih banyak kelemahan dalam pelaksanaan program BPJS Kesehatan. Ia mencontohkan, palaksanaan BPJS Kesehatan di wilayah Indonesia Timur yang menghadapi permasalahan kompleks.

Supriyantoro yang ketika itu juga menjadi bagian dari perencana sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), melalui penyusunan Undang-Undang (UU) BPJS mengakui bahwa dalam perencanaan tersebut sangat dipengaruhi oleh kepentingan politis. Karena pemerintah terlambat merespon, sehingga DPR RI yang kemudian berinisiatif membuat UU tersebut, dengan muatan-muatan yang sebagian terkesan “dipaksakan”.

“Dengan 5 tahun ini, sudah saatnya SJSN, Undang-undang BPJS kita tinjau lagi, kita kaji lagi tapi bukan untuk menghilangkan programnya, melainkan penyempurnaan program ini,” kata mantan Sekretaris Jenderal di Kementerian Kesehatan RI ini, dalam Peluncuran Buku “Kebijakan Pembiayaan dan Fragmentasi Sistem Kesehatan”, di UGM, Sabtu (2/3/2019).

Hal senada juga diungkapkan penulis buku “Kebijakan Pembiayaan dan Fragmentasi Sistem Kesehatan”, Laksono Trisnantoro yang berpendapat bahwa selama ini aspek politik memang sangat tajam dalam sejarah sistem kesehatan di Indonesia. Termasuk, dalam reformasi kesehatan, dalam bentuk JKN.

Selain itu, Laksono menambahkan, dari sisi Fasilitas Kesehatan dan SDM yang ada sebenarnya juga belum siap untuk menjalankan sistem JKN. Terlebih, Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga cukup sulit untuk melakukan pemerataan faskes di beberapa daerah.

“Kalau Faskesnya kurang, ya artinya daerah itu tidak bisa klaim banyak,” anggap Laksono. Begitu juga dengan SDM, seperti ketersediaan dokter yang tak merata di beberapa daerah.

Sementara dampak dari kebijakan JKN ini, menurutnya juga belum terlihat optimal, setidaknya dalam 3-4 tahun terakhir program berjalan. Terjadi kesenjangan yang cukup lebar, misalnya dalam pertumbuhan rumah sakit di Jawa dan di luar Jawa.

Persoalan lainnya adalah menyangkut dengan kelembagaan. BPJS bersifat sentralistik, sementara pemerintah dan sektor kesehatan yang terdisentralisasi sehingga tak jarang memunculkan konflik-konflik antarlembaga tersebut.

Oleh karenanya, Laksono juga menilai perlunya meninjau ulang kebijakan tentang sistem JKN maupun BPJS untul melakukan perbaikan, dengan mengacu pada Perpres No.82 Tahun 2018. (Rep-01)

Pos terkait