SLEMAN (kabarkota.com) – Belasan bapak-bapak berkumpul di tepi jalan kampung dekat rumah keluarga almarhum Rheza Sendy Pratama di Padukuhan Jaten, Kalurahan Sendangadi, Kapanewon Mlati, Kabupaten Sleman, DIY, pada Selasa (2/9/2025) malam.
Dari pantauan kabarkota.com, sebagian dari mereka duduk berjajar di atas kursi plastik warna merah sembari berbincang-bincang. Beberapa aparat keamanan berseragam TNI juga turut berbaur dengan mereka. Di seberang jalan, sejumlah karangan bunga ucapan bela sungkawa atas meninggalnya mahasiswa Amikom tersebut juga masih berjajar.
Malam itu, warga bersama aparat keamanan tersebut berjaga di dekat rumah duka yang sedang menggelar tahlilan untuk mendoakan almarhum.
Sementara para jurnalis memantau dari jarak puluhan meter dari lokasi mereka berkumpul. Itu lantaran ada informasi yang beredar di kalangan wartawan bahwa Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) hendak berkunjung ke rumah duka. Namun, hingga pukul 20.30 WIB, tidak terlihat tanda-tanda kedatangan untuk menemui keluarga almarhum.
Sejak meninggalnya Rheza yang diduga dianiaya saat tertangkap dalam kericuhan di depan Markas Polda (Mapolda) DIY pada Minggu (31/8/2025) pagi lalu, antensi publik dan pemerintah luar biasa besar.
Pada saat pemakaman almarhum, perwakilan dari pemimpin Universitas dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Amikom datang ke rumah duka. Setelah pemakaman almarhum, keluarga Keraton Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi bersama rombongan menyambangi keluarga Rheza untuk menyampaikan bela sungkawa.
“Kami terus berharap tidak ada lagi korban yang seperti ini. Mudah-mudahan, kita sama-sama menjaga DIY dan masyarakat,” ucap putri sulung Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB X) ini sebagaimana dilansir dari unggahan video Humas Pemda DIY di akun tiktoknya, pada 31 Agustus 2025.
Disusul Kepala Polda DIY, Brigadir Jenderal Polisi (Brigjen Pol) Anggoro Sukartono yang juga menemui keluarga Rheza. Selain itu, sejumlah kelompok massa aksi unjuk rasa di Yogyakarta juga menyempatkan diri untuk berziarah ke makam Rheza yang lokasinya sekitar 300 meter dari rumah duka.
Kematian Rheza yang Menyedihkan
Di lain pihak, Manajer Hukum dan Humas Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito Yogyakarta, Banu Hermawan mengungkapkan, Rheza adalah satu dari 29 orang yang dibawa ke RSUP Dr. Sardjito karena mengalami luka-luka, akibat kerusuhan di Mapolda DIY, sejak 29 – 31 Agustus 2025.
“Pasien (Rheza) masuk ke rumah sakit kami (hari Minggu) pukul 06.30 wib, dalam kondisi jelek,” jelas Banu saat ditemui di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, pada 1 September 2025.
Kemudian, sambung Banu, tim medis melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) secara maraton sekitar 30 menit. Namun pukul 07.06 WIB, nyawa Rheza tidak tertolong.
Ditanya terkait penyebab kematiannya, Banu mengaku, pihaknya belum mengetahui secara pasti penyebabnya karena pihak keluarga menolak jenazah diautopsi. “Tetapi dalam bahasa medis, kami menyebutnya cardiac arrest atau henti jantung,” tegas Banu.
Lebih lanjut Banu menerangkan bahwa hasil pemeriksaan dokter terhadap pasien juga sudah dilakukan sesuai mekanisme hukum acara. Selain itu, hasil pemeriksaan pasien juga masih disimpan pihak rumah sakit. Jika sewaktu-waktu dibutuhkan, maka pihaknya akan menyerahkan itu kepada pihak yang berwajib.
“Nanti ketika ada yang meminta itu, maka kami akan serahkan kepada yang berwajib. Apakah penyidik dari Polresta Sleman atau pun Polda DIY, tergantung nanti siapa yang berkoordinasi dengan kami,” tuturnya lagi.
Lebih lanjut Banu menyampaikan, karena pihak keluarga tidak menginginkan visum et repertum, maka nanti yang diserahkan hanya dalam berbentuk Surat Keterangan Medis Hasil Pemeriksaan atau resume medis.
Keluarga Didorong Cari Keadilan
Kematian pemuda 21 tahun yang menyedihkan itu pun mengundang simpati publik. Termasuk, dorongan agar pihak keluarga mencari keadilan, dengan membawanya ke ranah hukum.
Pegiat sosial di Yogyakarta, Elanto Wijoyono mengatakan, dirinya bersama jaringan masyarakat sipil akan mendorong penuntasan kasus penganiayaan yang mengakibatkan Rheza meninggal dunia. Meskipun, sementara ini keluarga almarhum tidak menyetujui adanya proses autopsi.
Menurutnya, kasus ini penting untuk dituntaskan, ketika Indonesia berkomitmen untuk berpegang teguh pada prinsip Hak Asasi Manusia.
“Karena bagaimana pun itu nyawa seseorang, warga atau rakyat yang berjuang dengan apa pun caranya, maka itu tidak bisa diabaikan. Ketika korban sudah jatuh, siapa yang bertanggung-jawab harus dikejar,” tutur Elanto saat ditemui di Bundaran UGM, pada 1 September 2025.
Hal serupa juga disampaikan Baharuddin Kamba selaku Kepala Divisi Humas Jogja Police Watch (JPW) yang mendorong pembentukan tim investigasi independen atas kematian tak wajar yang dialami mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Amikom Yogyakarta, angkatan 2023 ini.
Dalam siaran persnya, baru-baru ini, Bahar menganggap, jika investigasi hanya dilakukan oleh pihak kepolisian, dalam hal ini Polda DIY sesuai permintaan Gubernur DIY, Sri Sultan HB X, maka itu akan sangat subyektif dan jutru terkesan melindungi anggota polisi, bukan berpihak pada korban.
Sebelumnya, Gubernur DIY, Sri Sultan HB X telah meminta Kapolda DIY agar melakukan identifikasi dan penyelidikan lebih lanjut terkait kematian Rheza.
Polda DIY Janji Tangani Kasus Kematian Rheza
Menanggapi hal itu, Kapolda DIY, Irjen Pol Anggoro Sukartono memastikan bahwa penyelidikan atas meninggalnya mahasiswa Amikom, tersebut masih berjalan.
“Sesuai dengan arahan Ngarsa Dalem (Sultan), kami sudah diperintahkan untuk melakukan pendalaman, penyelidikan. Dan ada tim dari Jakarta yang melakukan pendalaman terkait dengan kejadian yang dialami mahasiswa Amikom,” kata Anggoro sebagaimana dilansir dari laman Humas Pemda DIY, pada 2 September 2025.
Terkait proses evakuasi Rheza yang terjatuh, Kapolda berdalih, korban diambil dari Tempat Kejadian perkara, lalu dibawa ke dalam untuk diselamatkan. Namun karena kondisinya lemah dan situasi saat itu penuh gas air mata, maka dia diangkat. Sementara terkait video di media sosial yang memperlihatkan cara korban dibawa aparat dinilai kurang manusiawi, Kapolda menyatakan, hal tersebut perlu diteliti lebih lanjut.
Kapolda menambahkan, Rheza sempat ditangani oleh kedokteran kepolisian. Namun, karena situasi tidak memungkinkan, korban kemudian dipindahkan menggunakan ambulans pinjaman dari RSUP Dr. Sardjito. “Karena situasi kami tidak bisa keluar. Nah kami meminjam ambulans dari Sarjito dan diantar ke sana”.
Mengenai kabar di media yang menyebut kepolisian meminta keluarga untuk tidak menuntut maupun menolak autopsi, Anggoro menegaskan hal itu tidak benar. Ia belum mendengar dan tidak meminta hal tersebut.
“Harus ditanya sama keluarganya. Justru pada saat kejadian, kami meminta untuk dilakukan autopsi. Tapi keluarga menolak.”
Anggoro memastikan seluruh proses penanganan kasus ini berjalan sesuai prosedur. Semua informasi, baik dari saksi, keluarga, maupun data medis, saat ini masih didalami.
Anggoro juga mengklaim, tindakan aparat yang dilakukan dalam menangani bentrokan sudah sesuai prosedur, dengan mengedepankan keamanan masyarakat. Sedangkan menyangkut kemungkinan adanya sanksi bagi aparat yang terlibat, Anggoro menekankan bahwa prosesnya masih berjalan.
Keluarga Pasrah atas Kematian Rheza
Sebenarnya sejak awal, ayah Rheza, Yoyon Surono telah menyatakan bahwa pihaknya menerima kematian putranya tersebut sebagai sebuah musibah. Meskipun, kondisi tubuh Rheza penuh luka memar dan sayatan yang diduga bekas pukulan. “Darah di muka itu warnanya sudah hitam semua… Muka, badan, sepatu basah semua, dan rambut juga sudah tidak karuan,” ucap Yoyon tak kuasa menahan tangis, saat ditemui di kediamannya, pada 2 September 2025.
Yoyon menegaskan bahwa pihaknya tidak akan membuat laporan ke kepolisian atas meninggalnya Rheza. “Untuk proses hukum, kami sesuai dengan komitmen awal tidak akan menuntut, karena tidak tega dengan anak kami kalau harus diautopsi dan dibongkar lagi makamnya. Walau pun sebenarnya, kami juga tidak tahu kejadian yang sebenarnya seperti apa,” sesal Yoyon.
Terkait penanda-tanganan surat pernyataan yang disodorkan dari pihak kepolisian, Yoyon menganggap bahwa secara prosedur hukum memang harus seperti itu, supaya ke depan tidak terjadi kesalahpahaman antara keluarga dengan pihak-pihak terkait.
“Inti suratnya, pihak keluarga tidak menginginkan otopsi. Jadi pertanggung-jawaban dari perkataan kami itu dituangkan di atas kertas yang kami tanda-tangani. Hanya itu saja,” sebutnya.
Disinggung soal banyak dukungan agar keluarga membawa kasus ini ke ranah hukum, Yoyon tetap bersikukuh bahwa semua musibah tersebut sudah dikembalikan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. “Masalah keadilan, nanti sudah ada yang menanggung,” ucapnya. (Rep-01)







