Mbah Tupon jadi Korban Mafia Tanah yang Diduga Libatkan Mantan Anggota Dewan

Mbah Tupon (dok. kabarkota.com)

BANTUL (kabarkota.com) – Mbah Tupon tak pernah menyangka, niat baiknya ingin menghibahkan sebagian pekarangan untuk anak-anaknya justru sasaran mafia tanah.

Bacaan Lainnya

Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah dan bangunan seluas kurang lebih 1.655 meter persegi yang ia tempati bersama keluarganya, kini telah dibalik nama orang lain berinisial IF, tanpa sepengetahuan Mbah Tupon.

Tanah dan bangunan tersebut kini juga terancam disita pihak perbankan karena ternyata telah dijadikan agunan kredit macet oleh oknum yang bersangkutan.

Ironisnya, lansia berusia 67 tahun ini menjadi korban mafia tanah yang diduga melibatkan mantan anggota dewan di Kabupaten Bantul.

Ketika kabarkota.com bersama sejumlah jurnalis mendatangi rumahnya di Padukuhan Ngentak, RT 04, Kalurahan Bangunjiwo, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY, pada Senin (28/4/2025), sejumlah pejabat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bantul hingga Pemerintah Kalurahan (Pemkal) Bangunjiwo terlihat berbincang teras rumah Mbah Tupon.

Sementara halaman depan pekarangannya, berdiri spanduk kuning bertuliskan “Tanah dan Bangunan ini dalam Sengketa”. Di sebelahnya lagi, juga terdapat spanduk berisi tanda-tangan petisi dukungan warga untuk Mbah Tupon dengan tulisan “Petisi Cinta dan Peduli Kasih” dan dibubuhi hastag Kawal sampai Tuntas.

Spanduk berisi tanda tangan petisi dukungan untuk Mbah Tupon yang dipasang di depan pekarangan rumahnya. (dok. kabarkota.com)

Mbah Tupon bercerita bahwa permasalahan sengketa tanahnya ini bermula ketika ia meminta tolong kepada tetangganya berinisial BR agar membantu memecah sertifikat tanah yang akan dihibahkan sebagian kepada anak-anaknya.
Kemudian BR yang ketika itu juga menjadi anggota DPRD di Kabupaten Bantul, meminta sertifikat milik Mbah Tupon, dengan janji akan dipecah menjadi empat bagian.

“Kejadiannya sudah setahun lebih. Dulu itu mendekati bulan puasa tahun lalu,” ungkap Mbah Tupon dalam bahasa Jawa.

Namun seiring berjalannya waktu, sertifikat yang dijanjikan tersebut tak kunjung diberikan hingga suatu ketika, Mbah Tupon didatangi oleh pihak bank dan memberitahukan bahwa tanah ini akan disita.

“Saya kaget dan tidak tahu apa-apa sampai sekarang,” sesal bapak tiga anak ini.

Ketika Mbah Tupon mendatangi BR dan menanyakan permasalahan sertifikat itu, BR justru memintanya untuk tenang dan tidak khawatir karena sertifikatnya pasti kembali.

Ketua RT Jelaskan Kronologi Permasalahan Mbah Tupon

Sementara itu, Ketua RT 04 Padukuhan Ngentak, Agil Dwi Raharjo menambahkan bahwa berdasarkan keterangan dari pihak Mbah Tupon dan pihak BR, awalnya Mbah Tupon memiliki bidang tanah 2.100 meter persegi. Kemudian ada transaksi jual beli tanah seluas 298 meter persegi, antara Mbah Tupon dan BR. Sesuai kesepakatan kedua belah pihak, pembayaran atas penjualan tanah tersebut dilakukan dengan cara diangsur.

“Jadi memang diangsur, itu sudah menjadi kesepakatan untuk membangun rumah anaknya yang ini,” kata Agil sembari menunjuk sebuah rumah baru di sebelah rumah Mbah Tupon.

Menurutnya, di waktu yang bersamaan, Mbah Tupon juga mewakafkan tanah seluas 54 meter persegi untuk gudang di RT 04, dan tanah seluas 90 meter persegi untuk jalan kampung.

“Jarak antara gudang dan jalan itu berdekatan. Jalan itu juga menjadi akses menuju gudang,” lanjut Agil. Setelah proses wakaf dan jual beli tanah selesai, sebut Agil, Mbah Tupon tinggal memiliki sebidang tanah seluas 1.655 meter persegi.

Lebih lanjut Agil menyampaikan, karena BR masih memiliki kekurangan pembayaran sebesar Rp 35 juta, maka Mbah Tupon berinisiatif meminta uangnya tersebut untuk proses pecah sertifikat bagi anak-anaknya. Namun, BR tidak membayarkan kekurangan pembayaran tersebut, melainkan menawarkan diri untuk membantu mengurus proses pemecahan sertifikat Mbah Tupon.

Setelah sertifikat diserahkan kepada BR dan tak kunjung dikembalikan, Mbah Tupon beberapa kali menemui BR dan mendapatkan jawaban yang pada intinya tidak perlu khawatir karena sertifikatnya pasti akan dipecahkan.

Dalam proses pemecahan itu, Mbah Tupon dan istrinya juga pernah dua kali diminta tanda tangan oleh orang kepercayaan BR berinisial T, dan rekan T yang juga berinisial T, di dua tempat yang berbeda. Mbah Tupon diminta tanda tangan tanpa diberi-tahu tentang isi dari surat yang ditandatanganinya, padahal ia buta huruf. Namun karena BR meyakinkan Mbah Tupon bahwa itu bagian dari proses pecah sertifikat, maka dia bersedia tanda-tangan. Tanda tangan pertama diduga dilakukan di kantor perbankan yang bersangkutan, dan tanda tangan kedua dilakukan di kantor notaris AR.

Tapi pada bulan Maret 2024, Mbah Tupon tiba-tiba didatangi pihak bank yang menyampakan bahwa tanahnya hendak dilelang, dan sudah dipindah-tangankan atas nama IF. Mengetahui hal itu, BR pun mengaku bahwa dirinya meminta bantuan T untuk mengurus pemecahan tanah Mbah Tupon. BR pun kemudian berjanji akan membantu menyelesaikan permasalahan itu.

Namun karena permasalahan tak kunjung usai, bahkan setelah melalui proses media antarpihak, Agil mengatakan, keluarga Mbah Tupon akhirnya melaporkan dugaan penyalahgunaan SHM tanahnya itu ke Polda DIY, dengan menggugat lima orang, yakni BR, T, T, AR, dan IF

BR Tepis Tuduhan Penyalahgunaan SHM Tanah Mbah Tupon

Di lain pihak, BR menepis tuduhan bahwa dirinya menyalah-gunakan SHM tanah milik Mbah Tupon. Pengacara BR, Aprilia  Saparianto berdalih, kliennya justru berusaha membantu untuk memecah sertifikat itu atas permintaan Mbah Tupon, pada tahun 2021.

“Diminta membantu pemecahan atas tanahnya. Itu sudah berhasil dan selesai. Tapi belum terpecah semua, karena terbentur peraturan. Kemudian dilakukan pemecahan tahap kedua,” ucap Aprilia melalui sambungan telepon.

Pada saat pemecahan tahap kedua ini, Aprilia menyatakan bahwa BR melimpahkannya ke notaris AR, dan selesai, dengan sertifikat terpecah menjadi tiga atau empat. Pertimbangan permohonan pemecahan kedua dilimpahkan ke notaris karena pada saat itu BR sebagai anggota dewan, secara teknis tidak membidangi masalah pertanahan sehingga ia menggunakan jasa notaris AR, melalui T. Itu pun atas sepengetahuan dan seizin Mbah Tupon. Termasuk, ketika penyerahan sertifikat ke T.

Setelah itu, menurut Aprilia, T berhubungan langsung dengan Mbah Tupon untuk proses pemecahan sertifikatnya. Sedangkan BR hanya memantau saja. Tapi ternyata dalam perjalanannya, T meminta bantuan lagi kepada orang lain yang juga berinisial T, dan dia juga berhubungan langsung dengan Mbah Tupon, termasuk saat meminta tanda-tangan.

Spanduk bertuliskan Tanah dan Bangunan ini dalam Sengketa yang terpasang di halaman depan pekarangan Mbah Tupon. (dok. kabarkota.com)

“Beberapa tahun kemudian diketahui bahwa sertifikat tanah yang semestinya dilakukan pemecahan itu, ternyata sudah dibaliknama atas nama IF,” paparnya.

Aprilia juga menegaskan, BR tidak mengetahui tentang pemindahtanganan sertifikat itu sampai kemudian dijadikan agunan bank dan berujung pada rencana pelelangan tanah keluarga Mbah Tupon.

Oleh karenanya, Aprilia menyatakan bahwa inisiatif agar keluarga Mbah Tupon lapor ke polisi itu datang dari kliennya. Meskipun, pada akhirnya, BR termasuk nama yang dilaporkan ke Polda DIY.

“Walaupun BR dilaporkan, tapi melalui saya sebagai kuasa hukumnya, kami justru mendorong Polda untuk segera bertindak tepat menangani dan mengungkap kasus ini. Segera tangkap pelakunya, kalau ada kejahatan, dan segera sita barang buktinya supaya aman, tidak pindah tangan,” pintanya.

Sedangkan terkait pembayaran uang jual beli tanah yang dicicil, BR mengungkapkan, itu atas permintaan dari Mbah Tupon. Termasuk uang Rp 35 juta yang masih ada padanya.

“Uang Rp 35 juta itu bagian ketika proses sisa awal yang memang itu dicadangkan khusus untuk proses selanjutnya,” dalih BR.

Menyangkut jual beli tanah itu, BR mengaku, awalnya hanya ingin membantu Mbah Tupon yang tidak memiliki dana untuk memecah sertifikat tanah bagi anak-anaknya, sekaligus mewakafkan tanah untuk warga. Sementara untuk pembayaran dengan cara dicicil itu juga atas kesepakatan bersama. Mengingat, ketika itu BR tidak memiliki uang tunai untuk membayar tanah seluas 298 meter persegi dengan harga sekitar Rp 900 ribu per meter. Sedangkan Mbah Tupon merasa khawatir jika uangnya diterima sekaligus justru akan cepat habis. Padahal, dia juga berencana membangun rumah untuk anaknya.

“Sewaktu Mbah Tupon membangun rumah itu setiap hari Sabtu, saya harus mengeluarkan uang membayar tukang dan tenaga kerja mereka,” tutur BR. (Rep-01)

Pos terkait