YOGYAKARTA – Kekerasan yang dilakukan oleh pelajar di Yogyakarta akhir-akhir ini telah menimbulkan korban jiwa. Adnan Wirawan Ardianto (16), pelajar SMA Muhamadiyah 1 (SMA Muhi) Yogyakarta, meninggal dunia, Selasa (13/12/2016) setelah menjadi korban pembacokan di Imogiri Bantul.
Menanggapi hal tersebut, budayawan Yogyakarta, Achmad Charis Zubair me ngaku prihatin, karena di masa lalu, kekerasan sejenis ini biasanya dilakukan penjahat. Namun saat ini justru dilakukan oleh anak muda atau anak di bawah umur yang berstatus pelajar.
Dia menegaskan, fenomena ini tidak hanya menjadi persoalan masyarakat Yogyakarta, tapi telah menjadi persoalan bangsa karena menyangkut masa depan penerus bangsa ini. Dari sudut pandang budaya, Charis Zubair menyebutnya sebagai kerapuhan budaya.
“Ada tiga langkah yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan kekerasan yang berulang ini. Jangka pendek dengan cara pelaku kekerasan harus ditangkap dan dipenjarakan untuk memberi efek jera. Juga harus dicegah adanya isu-isu balas dendam, khususnya terkait persoalan SARA.” ungkap Charis dalam diskusi terbatas di Gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Kamis (15/12/2016).
Dia menambahkan, untuk jangka menengah, perlu mengoptimalkan peran aparat keamanan dan aparat hukum untuk menertibkan perilaku yang bertentangan dengan undang-undang. Dan masyarakat diminta berperan serta untuk membantu.
“Untuk jangka panjang, harus ada ruang ekspresi yang memadai sesuai dengan perkembangan umur pelajar, yang saat ini masih kurang. Karena tidak tersalurkan dengan baik, luapan emosi pelajar itu justru disalurkan melalui corat-coret atau vandalism dimana-mana,” ungkapnya.
Charis juga memberikan evaluasi pendidikan formal yang menurutnya sekarang ini terlalu kognitif. Akibatnya, pelajar saat ini hanya dituntut untuk mengejar nilai dan susah untuk melihat anak-anak untuk bermain karena mereka dikejar oleh angka.
“Pendidikan juga sudah menjadi lahan bisnis,” tutup Charis.
(rep-05-/ed-01)