Ilustrasi (dok. pexels/Julia M. Cameron)
SLEMAN (kabarkota.com) – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di era pemerintahan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka sudah mulai direalisasikan secara bertahap di sejumlah daerah. Tak terkecuali, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Di satu sisi, program ini memberikan harapan baru, khususnya bagi para siswa di sekolah yang menjadi salah satu sasaran penerima manfaat. Namun di sisi lain, ada potensi masalah besar terkait dengan sampah sisa makanan dari program tersebut.
Akademisi dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang juga ahli di bidang persampahan, Hijrah Purnama Putra mengatakan, sebelum program MBG, sampah sisa makanan di Indonesia sudah cukup mendominasi. Merujuk pada data SIPSN KLHK pada tahun 2024, jumlahnya hampir mencapai 40 persen dari total sampah yang ada.
Hijrah menjelaskan, sampah sisa makanan berbeda karakter dengan sampah organik lain, seperti kayu, ranting, dan daun.
“Sampah sisa makanan memiliki kadar air yang tinggi, maka pengolahan yang tepat adalah pengolahan yang mampu mengurai sampah tersebut walaupun dalam kadar air yang tinggi,” kata Hijrah kepada kabarkota.com, baru-baru ini. Misalnya, dengan teknik pengomposan, Black Soldier Fly larvae (BSF) atau magot.
Hanya saja, sesal Hijrah, sentra-sentra untuk produksi pengolahan sampah sisa makanan itu belum ada. Padahal, ketika program MBG berjalan, maka hampir pasti sampah sisa makanan yang dihasilkan cukup besar sehingga perlu direncanakan tempat pengolahannya secara baik. Terlebih, pengolahan sampah sisa makanan program MBG ini juga akan menciptakan lapangan pekerjaan yang lain bagi masyarakat.
“Sebenarnya sampah tersebut kalau mau dikelola secara sentralisasi, jangan dikembalikan kepada sekolah,” ucapnya lagi.
Menurutnya, dengan sentralisasi itu, sampah sisa makanan dari sekolah dikumpulkan kembali di dapur-dapur pengolahan makanan yang telah ditunjuk. Kemudian, diambil oleh vendor lain yang bisa mengolah sampah makanan tersebut.
“Jadi, sampah diangkut dalam kondisi yang sudah terpilah dengan baik,” katanya.
Hanya saja, Hijrah mengaku tidak mengetahui secara persis terkait mekanisme penunjukan vendor untuk program MBG. “Apakah mereka bisa mengolah sampah sendiri atau ada peluang untuk vendor lain dalam mengelola sampahnya?” tanya dia.
Lebih lanjut Hijrah memaparkan, secara sederhana, pengolahan sampah sisa makanan itu bisa diberikan langsung ke ternak, tanpa pengolahan apa pun. Misalnya, dijadikan pakan hewan unggas, maupun babi. Tingkatan berikutnya, magot yang membutuhkan proses dan biaya.
“Jadi biaya yang dikeluarkan untuk makanan itu plus biaya untuk pengolahan sampahnya. karena tidak hanya makanan yang butuh diolah dengan biaya, tetapi ada sampah sisa makanan yang juga membutuhkan biaya,” tegasnya.
Oleh karenanya, lanjut Hijrah, jika selama ini pemerintah berfokus menghasilkan RDF atau panas dari membakar sampah, maka sekarang perlu juga memikirkan lokasi khusus yang mampu mengolah sisa makanan.
“Ranahnya pemerintah itu pada kebijakan dan penyediaan pendanaan yang cukup,” anggap Hijrah. (Rep-01)