Ilustrasi (dok. wikipedia)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah meminta agar pemerintah mengkaji dengan seksama rencana pemberlakukan New Normal (tatanan baru) di tengah pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Permintaan tersebut disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir melalui Pernyataan Pers PP Muhammadiyah No. 002/PER/I.0/I/2020 tentang Pemberlakuan New Normal.
Menurut Haedar, rencana pemberlakukan tatanan baru tersebut justru memunculkan tanda tanya dan kebingungan masyarakat. Sebab, di satu sisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masih berlaku, tapi di sisi lain, pemerintah memberlakukan juga relaksasi (pelonggaran).
Pihaknya mencontohkan, di satu sisi mall dan pusat-pusat perbelanjaan mulai dibuka, sementara masjid-masjid masih tetap ditutup sehingga berpotensi menimbulkan ketegangan antara pemerintah dengan umat maupun jamaah.
“Kesimpangsiuran itu sering menjadi sumber ketegangan aparat dengan rakyat. Bahkan demi menegakkan aturan, tak jarang sebagian oknum aparat menggunakan cara-cara kekerasan,” anggap Haedar dalam pernyataan tertulis yang diterima kabarkota.com, Kamis (28/5/2020).
Oleh karenanya, Haedar berpandangan bahwa pemerintah perlu memberikan penjelasan yang transparan dan obyektif menyangkut dasar kebijakan, serta tujuan new normal. Selain itu juga terkait konsekuensi peraturan yang sudah berlaku, seperti PSBB, dan layanan publik.
“Harus ada jaminan daerah yang sudah dinyatakan aman atau zona hijau untuk pemberlakukan new normal,” tegasnya.
Persiapan yang seksama, lanjut Haedar, juga perlu agar masyarakat tak menjadi korban, terutama jika penularan virus meluas.
Menag: Rumah Ibadah akan Dibuka Bertahap
Sementara sebelumnya, Menteri Agama (Menag) RI, Fachrul Rozi
menyatakan, pemerintah akan membuka kembali rumah-rumah ibadah untuk kegiatan keagamaan secara bertahap dengan tetap menaati prosedur tatanan baru.
“Mudah-mudahan dengan ini kita bisa meningkatkan ibadah lagi,”, kata Menag dalam siaran pers melalui Youtube channel Setkab, 27 Mei 2020.
Menag menjelaskan, dalam revitalisasi fungsi rumah ibadah pada tatanan normal baru itu, tempat ibadah, termasuk masjid yang akan digunakan untuk salat berjamaah kembali harus mendapatkan rekomendasi dari camat setempat.
“Kenapa Camat yang merekomendasi? karena kalau Bupati/Walikota atau gubernur itu terlalu jauh di atas, sehingga mungkin ada tempat-tempat yang sebetulnya sangat aman, tapi oleh mereka (Pemda) digeneralisasikan seolah-olah belum aman, karena di level provinsi atau kabupaten/kota belum aman, sehingga kewenangan itu kami imbau untuk tingkat kecamatan saja,” paparnya.
Namun demikian, Menag menambahkan, sebelum memberikan rekomendasi, camat harus berkonsultasi dulu ke Bupati/Walikota karena mereka yang tahu tentang penerapan new normal.
“Izin akan direvisi setiap bulan. Jumlahnya bisa bertambah/berkurang. kalau kasus Covid-nya malah meningkat ya izinnya dicabut,” tegasnya.
Kebijakan revitalisasi fungsi rumah ibadah pada tatanan normal baru yang akan segera diterbitkan Kemenag itu nantinya berlaku untuk semua agama. (Ed-01)