OHANA dan Bappeda DIY usai Audiensi di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, baru-baru ini. (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Rania Naura Anindhita, perempuan 24 tahun itu penampilannya terlihat kalem, dengan atasan putih dipadu dengan sweater warna cokelat dan rok panjang hitam. Dia adalah satu dari belasan orang yang menghadiri Audiensi Perkumpulan Organisasi Harapan Nusantara (OHANA) Indonesia dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DIY di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, baru-baru ini.
Perkumpulan OHANA Indonesia merupakan organisasi non profit yang berbasis di DIY, dan berfokus pada isu-isu spesifik, seperti advokasi kebijakan, hak-hak disabilitas, serta kajian kebijakan dan penyusunan peraturan hukum untuk kebijakan sosial.
Gadis asal Sidoarjo, Jawa Timur itu hadir sebagai perwakilan dari Pusat Layanan Disabilitas (PLD) UGM. Rania terlihat tidak mengalami gangguan dalam berkomunikasi. Namun, di balik itu, ia selalu menggunakan alat bantu dengar, karena telinganya mengalami tuli parsial.
Keterbatasan pendengaran tak menghalangi Rania untuk belajar hingga lulus dari Fakultas Biologi UGM, pada tahun 2024 lalu. Tak hanya itu, sejak akhir tahun 2021, ia telah menciptakan inovasi untuk mengatasi masalah sampah, dengan eco lindi.
“Konsepnya adalah membuat air sampah menjadi penghilang bau sampah,” jelas Rania, di kantor Bappeda DIY.
Menurutnya, konsep ini masih jarang dilirik sebagai solusi, karena selama ini publik mengasosiasikan sampah apalagi airnya itu sebagai sesuatu yang kotor dan bau. Padahal ketika diolah menjadi eco lindi justru mampu menetralisir bau tak sedap dari tumpukan sampah.
Dengan karyanya itu, Rania mengaku telah bekerja sama dengan sejumlah pengelola Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) di Kabupaten Sleman, dan penemuannya tersebut mampu mengatasi keluhan para pengelola sampah.
“Saya sudah kerja sama dan membuktikan bahwa eco lindi bisa menghilangkan bau, sehingga membuat pekerjaan mereka lebih mudah,” ucapnya lagi.
Buah dari inovasinya itu pun pernah mendapatkan apresiasi dari Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, dan award di bidang lingkungan hidup dari UGM.
Sayangnya, Rania dan timnya masih kesulitan untuk menawarkan kerja sama dengan Pemda DIY, guna mengaplikasikan temuannya tersebut, terutama di bekas Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan yang sampahnya masih tersisa. Mengingat, gerbang pertama pengolahan sampah itu di TPS, karena ketika sampah numpuk, maka menimbulkan bau dan berpotensi mengundang protas masyarakat sekitar, seperti yang terjadi di Piyungan.
Oleh karena itu, dalam audiensi OHANA bertajuk “Mengimplementasikan Rencana Aksi Daerah Provinsi tentang Inklusi Disabilitas dengan Fokus pada Risiko Bencana dalam Konteks Perubahan Iklim” kali ini, Rania kembali menyampaikan bahwa pihaknya mempunyai inovasi tentang cara menurunkan gas rumah kaca di persampahan.
Selain itu, pihaknya memiliki banyak inovasi sebagai solusi untuk menghadapi climate change saat ini, terutama dalam hal penyediaan air bersih. “Saya berharap dengan audiensi ini, aspirasi kami untuk menghadirkan solusi didukung oleh Bappeda,” pintanya.
Sebab, Rania berpandangan bahwa ini merupakan praktik baik untuk mendukung inovasi anak-anak muda, khususnya di Perguruan Tinggi. Baik penyandang disabilitas maupun bukan untuk mengadirkan solusi yang itu jauh lebih inklusif.
OHANA: Perspektif dalam Pembahasan Rencana Aksi Daerah belum Inklusif
Sedangkan Nuning Suryatiningsih selaku perwakilan dari OHANA menyatakan bahwa perubahan iklim juga menjadi momok bagi penyandang disabilitas karena dampaknya bisa beragam.
“Itu ternyata belum dibahas sepenuhnya oleh pemerintah,” sesalnya.
Meskipun, lanjut Nuning, pihaknya sudah dilibatkan dalam pembahasan soal rencana aksi daerah dengan disabilitas, akan tetapi perspektifnya belum sepenuhnya inklusif. Misalnya, soal kebencanaan, selama ini pemerintah hanya memfasilitasi, terkait mitigasi secara umum. Sementara bagaimana upaya menolong para penyandang disabilitas saat terjadi bencana, ternyata belum dimasukkan dalam rencana aksi.
Contoh lainnya, sebut Nuning, soal sarana, prasarana, dan litigasi yang sudah mereka lalukan. Meskipun dokumennya sudah ada, tetapi tidak ada perspektif inklusifnya.
“Makanya kami akan memasukkan itu ke mereka supaya minimal dokumennya ada, dan ada keputusan dari pemerintah mana pun, syukur-syukur Keputusan Gubernur tentang SOP membantu para penyandang disabilitas, dari segala bencana, termasuk di dalamnya perubahan iklim,” tutur mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Sleman ini.
Bappeda DIY akan Prioritaskan Perspektif Inklusif dalam Penanganan Bencana
Menanggapi hal tersebut, Kepala Bappeda DIY, Ni Made Dwi Panti Indrayanti tak memungkiri bahwa terkadang aturan dibuat general sehingga ketika terjadi bencana, maka inklusif itu tidak terlalu menjadi prioritas untuk dipikirkan. Contohnya, barak pengungsian yang semestinya khusus membutuhkan fasilitas khusus, tetapi disamakan dengan masyarakat pada umumnya.
“Ini menjadi masukan bagi kami,” ucap Made.
Lebih lanjut Made mengatakan, sebenarnya dokumen legalitas memang sudah banyak. Baik dari sisi kesejahteraan rakyat, Climate change, hingga rencana aksi pangan dan gizi. Hanya saja ke depan, dokumen perencanaannya akan lebih ditekankan.
“Dengan pertemuan ini, kami berharap ini akan menjadi konsentrasi kami. Di sisi perencanaan, dan implementasi di lapangan nanti disesuaikan dengan mitra kerja kami, yakni OPD (Organisasi Perangkat Daerah) teknis maupun keterlibatan masyarakat,” Made menambahkan.
Sedangkan terkait tawaran kerja-sama dari PLD UGM untuk penanganan masalah persampahan, Made menegaskan bahwa apa pun itu yang tujuannya untuk kebaikan, maka pihaknya siap mendukung.
“Sebenarnya kami senang sekali kalau memang anak muda yang memiliki ide dan inovasi terkait solusi untuk menangani persoalan-persoalan seperti sampah,” katanya. Terlebih, DIY memang memiliki problem besar soal itu. (Rep-01)