Diskusi Publik “Peluang dan Tantangan Omnibus Law di Indonesia,” di Kampus FH UII Yogyakarta, Rabu (11/3/2020).
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang digagas pemerintah hingga kini masih menjadi perdebatan publik.
Dosen Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Yogyakarta, Ayunita Nur Rahanawati berpendapat bahwa RUU Omnibus Law Cipta Kerja berpotensi menghapuskan hak-hak kaum buruh.
“Selama ini buruh di Indonesia dinilai mahal,” kata Ayu dalam Diskusi Publik “Peluang dan Tantangan Omnibus Law di Indonesia,” di Kampus FH UII Yogyakarta, Rabu (11/3/2020).
Menurutnya, penilaian itu salah satunya didasarkan pada kebijakan penetapan Upah Minimum, sehingga berbagai upaya dilakukan untuk menghilangkan hak-hak buruh di Indonesia.
Dosen Hukum Investasi FH UII Yogyakarta, Lucky Suryo Laksono juga beranggapan bahwa RUU tersebut memang cenderung berpihak pada kepentingan investor, dengan mengabaikan hak-hak buruh atau pekerja. Padahal semestinya, investasi yang didukung oleh pemerintah itu investasi yang berkeadilan.
“Artinya, tidak semata-mata membela kepentingan investor tetapi juga memberikan perlindungan bagi kaum buruh,” ucapnya.
Sementara Himawan Kurniadi dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta menegaskan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini harus dicabut. Mengingat, tak hanya akan merugikan kaum buruh, tetapi juga mengancam kerusakan lingkungan.
“Menurut saya, perlu ada hak veto warga untuk menolak proyek-proyek pemerintah,” anggapnya.
Sedangkan, Dosen Hukum Tata Negara (HTN) UII Yogyakarta, Jamaludin Ghofur berpandangan bahwa di Negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia ini wajar terjadi perdebatan setiap kali pemerintah akan mengambil kebijakan.
Di sisi lain, Jamal juga memaklumi pemerintah yang mencetuskan gagasan Omnibus Law itu untuk menarik sebesar-besarnya investor ke Indonesia. Pasalnya, ujian bagi setiap rezim adalah memastikan bahwa perekonomian Negara tidak ambruk. Sebab, data menunjukkan, saat ini ekonomi dalam Negeri tengah menurun.
Hanya saja, Jamal menyayangkan langkah Presiden RI yang menyadari bahwa perekonomian Negara sedang turun, namun juga menggarap proyek-proyek besar.
“Semestinya kalau pemerintah akan mengambil kebijakan itu harus tahu dulu permasalahannya sehingga bisa tepat,” tegasnya.
Pihaknya mencontohkan, dalam hal lesunya investor masuk ke Indonesia itu sebenarnya lebih karena persoalan korupsi, dibandingkan persoalan regulasi.
“Jadi persoalan utamanya korupsi, tapi penyelesaiannya dengan Omnibus Law,” ujarnya.
Pendapat berbeda dilontarkan salah satu pelaku usaha di bidang properti, Adi Haryadi yang turut hadir sebagai peserta dalam diskusi tersebut.
Adi menilai, Omnibus Law itu diperlukan bagu para pelaku usaha ataupun investor dalam Negeri yang selama ini memang cenderung sulit berkembang karena persoalan perizinan yang berbelit-belit dan menguras biaya sangat besar.
Namun demikian, Adi berharap, Omnibus Law Cipta Kerja bisa ditunda pengesahannya. Pemerintah bersama para stakeholder, termasuk pelaku usaha, buruh, dan aktivis lingkungan perlu duduk bersama untuk membahas draft RUU tersebut sehingga bisa mengakomodir kepentingan semua pihak. (Rep-02).