Diskusi Daring: “Covid-19, Solidaritas Sipil dan Kedaulatan Pangan,” Jumat (5/6/2020) (dok. screenshot FB live)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Di balik Pandemi Coronavirus Diaease 2019 (Covid-19), ada hikmah besar yang bisa diambil. Diantaranya, kepedulian sosial yang meningkat, dan juga kepedulian terhadap alam.
Dalam Diskusi Daring bartajuk “Covid-19, Solidaritas Sipil dan Kedaulatan Pangan,” salah seorang warga Berdaya Kota Yogyakarta, Dodok Putra Bangsa berpendapat bahwa pandemi ini sebuah peringatan keras dari alam. Oleh karenanya, bercocok tanam menjadi salah satu alternatif untuk menjaga kelestarian alam, sekaligus mewujudkan kedaulatan pangan.
Hal itu juga yang dilakukan Dodok bersama Solidaritas Pangan Jogja (SPJ), dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta dengan membuat urban farming di wilayah Sorowajan Yogyakarta.
“Harapan kami, hasil panenannya nanti bisa untuk mensuplai sayuran di 11 Dapur Pangan Jogja,” kata Dodok, dalam Diskusi daring yang disiarkan langsung melalui fanpage Santri Gus Dur tersebut, pada Jumat (5/6/2020).
Menurutnya, langkah bercocok tanam tersebut sengaja ditempuh karena masyarakat tidak bisa selalu berharap bantuan pangan dari pemerintah, sehingga perlu berupaya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri. Salah satunya dengan bercocok tanam.
Dengan kembali mengkampanyekan pertanian seperti ini, lanjut Dodok, maka Indonesia bisa menuju kedaulatan pangan, bukan sekedar ketahanan pangan sebagaimana yang dilakukan pemerintah sekarang. Kebersamaan juga dibutuhkan untuk membangun kemandirian pangan, sehingga Indonesia tidak lagi mengandalkan pangan impor.
“Covid-19 ini seharusnya mengubah cara berpikir kita untuk menanam.” tegasnya.
Syafiatudina dari SPJ berpandangan bahwa kedaulatan itu dengan kemandirian, tidak hanya bagi diri sendiri tapi juga secara bersama. Kedaulatan dalam hal ini tidak hanya dalam hal pangan, tetapi juga kedaulatan ekologis yang mengedepankan kesetaraan dan keadilan.
“Kita butuh kedaulatan berbeda, yakni kedaulatan yang terbuka dan melibatkan semua orang,” ucapnya.
SPJ sendiri saat ini telah mendirikan sedikitnya 11 Dapur Pangan Jogja yang tersebar di beberapa wilayah DIY. Dina mengungkapkan, pengelolaan belasan dapur tersebut menggunakan struktur horizontal sehingga semua yang terlibat didalamnya bisa ikut menentukan apa yang akan dilakukan bersama.
“Kedaulatan pangan pada akhirnya bisa menjadi kedaulatan rakyat, karena rakyat bisa mengurus kebutuhannya sendiri,” imbuhnya.
Pada kesempatan tersebut, Direktur Walhi Yogyakarta, Halik Sandera juga menjelaskan bahwa arah kebijakan Negara saat ini memang masih pada level ketahanan pangan, bukan kedaulatan pangan.
Hal itu, sebut Halik, terbukti dengan masih bergantungnya pangan impor untuk memenuhi kebutuhan pangan Nasional. Padahal, sebenarnya Indonesia sangat mampu untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri, jika kebijakannya mendukung para petani.
Senada dengan hal tersebut, koordinator Jaringan GusDurian, Alissa Wahid juga menyampaikan bahwa tak ada yang salah dengan kebijakan ketahanan pangan yang diambil pemerintah, sebab Negara memang harus memastikan kebutuhan pangan rakyat terpenuhi.
Hanya saja, Alissa menganggap, keberlanjutannya juga harus dipikirkan. Sementara paradigma ketahanan pangan yang saat ini lebih menitik-beratkan pada sektor indutrialisasinya, dengan mengandalkan pangan impor ketimbang memberdayakan hasil produksi dari petani lokal.
Semestinya, kata Alissa, petani lokal dijadikan subyek atau pelaku pasar sehingga kedaulatan pangan Nasional bisa benar-benar terwujud.
“Realitas masa depan kita, problemnya adalah soal pangan, dan kita punya potensi (menjadi produsen pangan),” sebut putri mendiang Gus Dur ini. (Rep-01)