Pembubaran Acara AJI Berujung Desakan Evaluasi Kinerja Kapolda DIY

Polisi membubarkan acara peringatan Hari Kebebasan Pers Internasional di AJI Yogyakarta, Selasa malam, 3 Mei 2016 (Rep-01/Kabarkota.com)

Ilustrasi (dok. kabarkota.com)

JAKARTA (kabarkota.com) – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam tindakan kepolisian, utamanya Kabag. Ops Polresta Yogyakarta, Sigit Haryadi dan jajarannya memaksa penghentian acara pemutaran film Pulau Buru: Tanah Air Kita, di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, baru-baru ini.

Bacaan Lainnya

Koordinator KontraS, Haris Azhar dalam siaran persnya, Kamis (5/5/2016) menilai peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan anggota kepolisian di wilayah hukum Polda Yogyakarta sebagaimana terjadi di atas, bukan pertama kalinya terjadi. Sebab sebelumnya, anggota Polisi di wilayah Polda Yogyakarta juga telah beberapa kali membubarkan acara-acara lain, seperti acara LadyFast 2016 dan penyerangan Ponpes Al-Fatah di Yogyakarta.

Sigit Haryadi, lanjutnya, bahkan secara terang-terangan menyatakan tidak akan menjamin keamanan para peserta acara jika tidak mau membubarkan diri. “Ia juga secara aktif melalui anggotanya meminta ketua RW dan RT setempat membuat pernyataan penolakan acara tersebut,” sesal Hariz.

Acara pemutaran film tersebut rencananya akan diselenggarakan di kantor AJI Yogyakarta pada hari Selasa, 3 Mei 2016 untuk memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day). Namun acara pemutaran film akhirnya tidak dapat dilanjutkan setelah aparat Polresta Yogyakarta bersama dengan ormas Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI Polri (FKPPI) yang mendatangi kantor AJI Yogyakarta dan memaksa untuk membubarkan acara dengan alasan bahwa acara tersebut tidak memperoleh izin dan terdapat potensi ancaman konflik dari luar.

Menurutnya, fakta dan pernyataan dari pihak kepolisian tersebut, mengindikasikan adanya pelanggaran hak kebebasan berkumpul. Terlebih, dengan melibatkan ormas intoleran yang semakin menunjukkan kesengajaan aparat Negara melanggar hak kebebasan berekspresi dan berkumpul yang dijamin dalam Pasal 24 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Selain itu, tindakan anggota polisi yang meminta ketua RW dan RT setempat untuk membuat pernyataan menolak acara AJI juga menunjukkan tindakan aktif anggota Polri dalam melanggar hak kebebasan berkumpul para peserta acara, serta hak penyampaian informasi.

Film Pulau Buru: Tanah Air Kita adalah film dokumenter yang merupakan produk jurnalistik. Film tersebut juga sebelumnya sempat ditayangkan dalam penyelenggaraan Simposium ’65 pada 18 – 19 April 2016 dengan disaksikan pejabat-pejabat negara.
“Ada penyesatan informasi terkait syarat perizinan. Pernyataan kepolisian yang mengatakan pembubaran karena panitia acara tidak melakukan izin merupakan suatu penyesatan informasi terkait prosedur hukum dalam melaksanakan hak berpendapat dan berkumpul,” anggapnya.

Padahal pelaksanaan hak berpendapat dan berkumpul diatur dalam Petunjuk Lapangan Kapolri (Juklap) No. Pol/02/XII/95 Tentang Perizinan dan Pemberitahuan Kegiatan Masyarakat dan UU No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (UU Kemerdekaan Berpendapat). Aturan dalam Juklap tersebut menyatakan bahwa suatu kegiatan perlu membuat izin keramaian apabila melibatkan peserta paling sedikit 300 (tiga ratus) orang, sementara acara pemutaran film di kantor AJI Yogyakarta melibatkan peserta kurang dari 300 orang.

Berdasarkan fakta dan pelanggaran-pelanggaran di atas, maka KontraS mendesak Kapolri untuk segera mengevaluasi kemampuan dan kepemimpinan Kapolda DIY dalam melindungi dan menjamin hak kebebasan berkumpul, memperoleh informasi, dan menyebarkan informasi.

KontraS juga mendesak adanya tindakan tegas bagi Sigit Haryadi yang telah melakukan pelanggaran prosedur dan pembatasan hak asasi manusia saat melakukan pembubaran acara pemutaran film di kantor AJI Yogyakarta; Termasuk, menindak tegas kelompok-kelompok intoleran yang kerap kali melakukan intimidasi dan penggunaan kekerasan terhadap hak kebebasan berkumpul dan berekspresi masyarakat. (Rep-03/Ed-03)

Pos terkait