Pemdampingan Simetris Dinilai tak Menjawab Problem Desa

Diskusi Bulanan IRE: Pendampingan Asimetris: Solusi Pendampingan Desa, di Joglo Winasis, Rabu (29/6/2016). (sutriyati/kabarkota.com)

SLEMAN (kabarkota.com) – Pendampingan di desa yang sifatnya simetris dan sentralistik selama ini dinilai tak mampu menjawab problem dan tantangan di desa. Hal itu diungkapkan Peneliti Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, Abdur Rozaki, Rabu (29/6/2016).

Bacaan Lainnya

Menurutnya, karakter desa itu berbeda-beda, sementara pendampingan yang diterapkan sifatnya seragam sehingga cenderung menyulitkan para pendamping di lapangan.

“Contohnya, desa yang karakternya pesisir berbeda dengan desa yang karakternya pedalaman. Kalau dipukul rata, maka pendampingnya akan mengalami masalah,” kata Rozaki dalam Diskusi Bulanan IRE: Pendampingan Asimetris: Solusi Pendampingan Desa, di Joglo Winasis.

Tak hanya itu, lanjutnya, pendampingan yang sentralistik juga sulit diawasi karena tidak adanya kewenangan pemerintah kabupaten untuk mengurusi pendampingan desa yang direkrut langsung oleh Kementerian.

Karenanya, Rozaki mengaku tengah menggagas model pendampingan asimetris yang mengedepankan volunterisme. “Kalau Undang-Undang Desa didekati dengan pendampingan simetris, maka akses keluarga rentan dalam UU tersebut justru akan semakin termarginalkan,” anggapnya.

Aktivis Perempuan dari Rifka Annisa, Rindang Farikhah yang selama ini juga memberikan pendampingan di sejumlah desa di Kulon Progo mengaku, proses pendampingan membutuhkan waktu yang relatif lama dan rumit sehingga ketika para pendampingnya berasal dari luar wilayah (non organik) akan cenderung mengalami kesulitan.

“Kalau pendamping desa dari luar, apakah bisa melakukan kerja-kerja yang dilakukan seperti NGO selama ini?” Tanya Rindang.

Dengan pendampingan asimetris sebagaimana yang digagas IRE, Rindang berharap, model tersebit bisa menjadi transisi dari pendamping non organik menjadi kader-kader desa (organik) sehingga kerjanya lebih efektif.

Sementara, Totok Raharjo dari Sanggar Alam Anak mengaku khawatir jika keberadaan UU Desa saat ini hanya sekedar dianggap sebagai perebutan kue saja, mengingat adanya dana yang cukup besar mengalir ke desa-desa.

“Kalau orientasinya duit itu menjadi berat karena volunterisme itu prinsipnya kemanusiaan,” tegasnya. (Rep-03/Ed-03)

Pos terkait