Penasaran Aksi 212 Libatkan Jutaan Orang, Akademisi Lintas Universitas Membuat Kajian
YOGYAKARTA – Aksi Bela Islam 411 dan puncaknya pada 2 Desember 2016 yang dikenal dengan aksi 212 mengundang penasaran akademisi dari berbagai kampus di Jawa. Pasalnya meskipun aksinya diorganisir dalam waktu relatif singkat, namun berhasil menggerakkan jutaan orang terlibat di dalamnya.
Peneliti Center for Religius and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM, Zainal Abidin Bagir meyakini bahwa keberhasilan aksi 212 tersebut tidak terjadi tiba-tiba, namun ada sesuatu yang terjadi sebelumnya dan tidak terlalu kelihatan.
Menurut Zainal, banyak orang yang bertanya-tanya apa yang sesungguhnya terjadi sehingga tiba-tiba aksi yang digerakkan oleh Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) MUI bisa mengumpulkan massa yang berjumlah besar.
“Kita tidak tahu apakah Aksi Bela Islam ini adalah sesuatu yang signifikan sehingga akan menjadi tonggak dalam sejarah gerakan sosial Islam,” tanya Zainal dalam Focus Group Discussion (FGD) yang dihelat Maarif Institute, belum lama ini.
Zainal justru mempertanyakan, ketika fenomena 411 dan 212 terjadi, ke mana organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Apakah kedua organisasi itu tenggelam oleh gerakan baru tersebut.
Peneliti LIPI, Ahmad Najib Burhani, bahkan mempertegas tanda tanya yang diungkapkan Zainal, dengan menyebutkan \Aksi Bela Islam I, II, dan III itu sesungguhnya menunjukkan bahwa NU dan Muhammadiyah tidak seperti dulu lagi menjadi dua sayap wajah Islam Indonesia.
“Ada wajah lain muncul dan membentuk persepsi publik tentang bagaimana ketika melihat Islam di Indonesia,” ungkap Najib dalam forum yang sama.
Menurut Najib, fenomena yang terjadi belakangan ini tentang Aksi Bela Islam sepertinya menunjukkan peta baru tentang keberagamaan yang ada di indonesia, sesuatu yang selama dirasakan namun tidak ada ekspresi kongkritnya.
Bahkan aksi tersebut, ungkap Najib, dalam hal otoritas keagamaan sudah mulai terfragmentasi tidak lagi hanya menempatkan NU dan Muhammadiyah menjadi rujukan atau referensi ketika berbicara tentang agama. Meskipun dalam konteks pendidikan, pesantren, dan kesehatan, kedua ormas besar itu, diakuinya kedua ormas besar tersebut masih relevan.
Reporter: Aras