RUU Omnibus Law Diusulkan, Buruh akan Melawan

Ilustrasi (dok. Fpbi)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Rencana pemerintah menerbitkan Undang-Undang (UU) tentang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja pada 2020 mendatang menjadi kekhawatiran sendiri bagi para buruh di DIY.

Bacaan Lainnya

Wakil Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) KSPSI DIY, Kirnadi menganggap, draft Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut sangat merugikan buruh.

“Sikap kami terhadap RUU Omnibus Law yang saat ini ada, kami menentang,” tegas Kirnadi kepada kabarkota.com, Jumat (27/12/2019).

Kirnadi menyebut, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja akan mencabut sekitar 82 Undang-Undang, dengan lebih dari 1.000 pasal. Omnibus Law ini nantinya juga berisi 11 klaster, yang terdiri dari perizinan usaha, perindustrian, kawasan industri hingga ketenagakerjaan. Dan dalam Klaster ketenagakerjaan, seluruh peraturan perundangan yang bersifat pidana akan menjadi perdata.

Menurutnya, semangat utama Omnibus Law adalah memberikan kemudahan berinvestasi, dengan kerangka hukum privat. Padahal, tidak ada korelasi, jika pengusaha dipermudah izinnya, maka lapangan kerja akan otomatis terbuka.

Pengalaman yang terjadi selama ini, ungkap Kirnadi, para pengusaha justru makin sewenang-wenang, menutup pabrik dan kabur sesukanya, mudah melakukan PHK, dan semakin mudah melanggar hak dasar buruh di tempat kerja tanpa penegakan hukum.

Karenanya, perlindungan terhadap investor itu malah berpotensi menangkas hak-hak pekerja, dan buruh. Padahal semestinya ada perubahan tentang jaminan kepastian bekerja bagi buruh.

Pihaknya juga mensinyalir, perumusan Omnibus Law merupakan ambisi dan obsesi lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Orgnisasi Perdagangan Internasional (WTO). Lembaga keuangan internasional tersebut tengah melindungi pemodal dunia yang sedang dihantam krisis akumulasi kapital, dan menjadi perantara untuk mengekspansi kapital.

Sementara tiap kepala negara di Asia, lanjut Kirnadi, juga sedang berlomba menarik modal internasional, dengan cara mengubah peraturan perundangan untuk melindungi hak investor, dan memangkas hak asasi buruh.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Alinsi Buruh Yogyakarta (ABY) ini mencontohkan, Omnibus Law diujicobakan di India pada 2015 dengan memfleksibelkan pasar tenaga kerja dan kemudahan berinvestasi. Selain itu, Negara-Negara lain di Asia, seperti Myanmar, Kamboja, Vietnam juga sedang mendorong reformasi hukum agar lebih ramah investasi.

Di Indonesia, Perumusan Omninibus Law menyalahi prinsip keterbukaan dan partisipasi. Bahkan, lanjut Kirnadi, Satgas Omnibus Law didominasi oleh aktor-aktor yang anti terhadap kesejahteraan dan anti demokrasi rakyat. Dari 127 anggota Satgas adalah para pengusaha, lainnya ada perwakilan pemerintah dan akademisi.

“Negara sedang mengonsolidasikan para akademisi, lembaga dan sebagian pimpinan serikat untuk melancarkan agenda-agenda pro-investasi,” sesalnya.

Untuk itu, Kirnadi berpendapat bahwa perluasan diskusi di seluruh sektor dan disemua tingkatan organisasi mengenai ancaman dan bahaya Omnibus Law perlu dilakukan.

“Upaya yang sudah kami lakukan di pimpinan pusat SPSI adalah konsultasi dan diskusi serta masukan kepada Kementerian Tenaga Kerja,” ucapnya.

Sebelumnya, Pemerintah telah mengusulkan ke DPR untuk memasukkan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Super Prioritas Tahun 2020. Tujuannya, untuk merevisi ataupun mencabut banyak undang-undang sekaligus, yang dianggap menghambat investasi.

Dilansir dari laman setkab, Kamis (26/12/2019), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian telah siap menyampaikan laporan hasil pembahasan Omnibus Law kepada Presiden RI, termasuk Naskah Akademik dan draft RUU Omnibus Law, untuk kemudian diserahkan ke DPR RI.

Pemerintah berdalih, RUU tersebut dirancang untuk memperkuat perekonomian nasional melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia, khususnya dalam menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global.

Setidaknya pemerintah menyebut, ada tiga manfaat dari penerapan Omnibus Law ini nantinya. Pertama, menghilangkan tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan. Kedua, efisiensi proses perubahan/pencabutan peraturan perundang-undangan. Ketiga, menghilangkan ego sektoral yang terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan. (Rep-01)

Pos terkait