Para Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Konban (LPSK) memberikan keterangan kepada media soal revisi Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang perlindungan kepada justive collaburators dan whistleblower, Rabu (15/10) (Sutriyati/kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Denny Indrayana mengatakan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjadi pilar utama untuk memberikan perlindungan kepada saksi dan korban dalam kasus tindak pidana khusus.
Hal itu disampaikan Deny kepada wartawan di Yogyakarta, usai membuka Rapat Koordinasi Aparatur Penegak Hukum, Rabu (15/10).
"Jangan pernah berharap kasus tindak pidana khusus, seperti korupsi, terorisme, narkoba dan pelanggaran-pelanggaran berat itu dapat terungkap tanpa adanya sistem perlindungan saksi dan korban yang kuat," kata Denny.
Namun sekarang, Denny menilai, sistem perlindungan bagi mereka sudah lebih baik, dengan adanya revisi Undang-Undang No 13 Tahun 2006. Menurutnya, dalam revisi ini, memungkinan saksi dan korban untuk mengganti identitas, nama, serta perlindungan hukum bagi mereka supaya terbebas dari tuntutan. "Kalau pun terpaksa harus dituntut, maka harus menunggu kasusnya tuntas," ungkapnya.
Sementara Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai menjelaskan bahwa revisi UU ini telah memberikan kewenangan bagi LPSK terkait perlindungan bagi justive collaburators dan whistleblower.
Selain itu, perubahan UU ini juga memberikan pelayanan yang lebih memadahi bagi korban-korban terorisme. Perlindungan itu, baik dalam bentuk psikologi maupun psiko-sosial. Sebelumnya, perlindungan terhadap saksi dan korban tergantung pada subyektifitas kasusnya.
Wakil Ketua LPSK, Hasto Atmojo Suroyo mengaku, selama ini pihaknya kesulitan dalam memberikan pelayanan yang memadahi bagi korban terorisme. "Padahal mereka jelas-jelas korban," anggap Hasto.
Ia menambahkan, terorisme merupakan kejahatan yang berbeda. Sebab, berdasarkan pernyataan korban, mereka mengalami penderitaan yang berat karena trauma.
SUTRIYATI