SLEMAN (kabarkota.com) – Antropolog Universitas Gadjah Mada, Pande Made Kutanegara mengatakan tidak mudah mengubah sistem noken yang ada di Papua dengan sistem pemilihan umum yang mengedepankan 'one man, one vote'. Menurutnya, sistem yang datang dari barat tersebut bertentangan dengan nilai-nilai tradisional yang ada di sana.
"Penghormatan sistem kepemimpinan di sana bisa ambruk," kata Pande ketika dihubungi kabarkota.com.
Dalam materi gugatan tim Prabowo-Hatta ke Mahkamah Konstitusi (MK), salah satu yang dipermasalahkan adalah sistem noken yang ada di Papua. Meskipun, semua gugatan akhirnya dimentahkan oleh MK pada Kamis (21/8) lalu.
Pande menuturkan, berbagai macam hal menjadi pertimbangan apabila menginginkan masyarakat Papua mengikuti sistem pemilihan pada umumnya. Pertimbangan itu di antaranya cara kepemimpinan yang khas, budaya musyawarah yang masih kuat, serta akses atau infrastruktur yang tidak memadai.
"Pada saat saya penelitian di Papua, akses menujuk suatu tempat perlu waktu dua hingga tiga hari. Bagaimana dengan aktivitas mereka, kan?" ujar peneliti di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan ini.
Noken, kata Pande, hanya dipermasalahkan saat pelaksanaan pemilihan umum. Padahal, lanjutnya, permasalahan noken akan hilang ketika pemilihan umum selesai. "Jika ingin mengubah, perlu waktu dan proses yang panjang," ungkapnya.
Selain itu perlu adanya musyawarah dan negosiasi yang tidak menutup kemungkinan terjadi perlawanan di dalamnya.
"Meskipun secara konstitusi demikian, jangan lakukan cara militeristik. Kedepankan dialog. Saya yakin masyarakat di sana membuka diri untuk berdialog," tutur Pande. (kim/jid)