Ilustrasi: TSHE (tungkuindonesia.org)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Yayasan Lembaga Konsumen Yogyakarta Indonesia (YLKI) Yogyakarta mengungkapkan, penerapan program Tungku Sehat Hemat Energi (TSHE) masih mengalami sejumlah kendala. Meski program ini telah diluncurkan hampir tiga tahun lalu.
TSHE merupakan program yang diluncurkan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Ditjen EBTKE KESDM) bersama dengan Bank Dunia, pada 14 Agustus 2014. Program untuk memperkenalkan TSHE berbahan bakar biomassa kepada 24,5 juta atau 40 persen rumah tangga di dunia, yang masih menggunakan tungku tradisional. Jawa Tengah dan DIY menjadi pilot project dalam program ini.
Ketua YLKI Yogyakarta, Setya Rini Hastuti dari YLKI Yogyakarta mengatakan, hambatan penyebaran TSHE ini karena masih minimnya pemahaman masyarakat akan penggunaan energi alternatif biomassa secara benar. Hal ini tak lepas dari kurangnya sosialisasi TSHE, serta masih terbatasnya produksi.
“Minim dukungan pemerintah terhadap keberadaan TSHE, meskipun Kementerian ESDM terlibat dalam pilot project,” sesal Setya dalam Diskusi Publik dan Media Breafing: Dampak Penggunaan Energi Bersih dan Inklusi terhadap Kesehatan Perempuan, di Yogyakarta, Rabu (29/3/2017).
Ditambahkan Setya, selama ini, para pengguna TSHE juga masih mengeluhkan harga tungku yang masih relatif mahal, yakni kisaran Rp 150 ribu – Rp 300 ribu per unit. Belum lagi cara penggunaannya yang masih relatif sulit dibandingkan tungku pada umumnya, ditambah dengan masih sulitnya mendapatka pelet kayu sebagai bahan bakarnya.
Zumrotim K. Susilo dari Yayasab Kesehatan Perempuan Indonesia memaparkan, penggunaan tungku berbahan bakar kayu yang digunakan oleh sekitar 39 juta keluarga ini berdampak pada gangguan kesehatan, seperti masalah pernafasan.
“Tungku tradisional mengakibatkan polusi udara di dalam rumah dan bahkan mengakibatkan 165 ribu kematian dini per tahunnya,” tegas Zumrotim. (Rep-03/Ed-03)