Konsolidasi Media Dalam Rangka Penguatan Pemberitaan Pada Tahapan Pemilihan Serentak Tahun 2024, di Yogyakarta, pada 23 Maret 2024. (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DIY, Umi Illiyina mengapreasi peran media dalam pemberitaan Pemilihan Umum (Pemilu 2024).
“Kami mengapresiasi media di DIY yang bisa menyajikan pemberitaan yang berimbang di tengah panasnya politik nasional,” kata Anggota Bawaslu DIY Divisi Pencegahan, Partisipasi Mayarakat dan Humas ini dalam “Konsolidasi Media Dalam Rangka Penguatan Pemberitaan Pada Tahapan Pemilihan Serentak Tahun 2024, di Yogyakarta, pada 23 Maret 2024.
Menurutnya, media juga berperan dalam mencerdaskan pemilih. Termasuk meluruskan informasi hoaks yang beredar di masyarakat terkait dengan penyelenggaran Pemilu.
“Pada Pemilu 2024 ini terjadi 17 PSU dan 6 PSL di DIY, terutama Sleman, Bantul dan Kota Yogyakarta. Salah satu penyebabnya karena ada residu dari hoaks yang beredar di masyarakat,” anggap Umi.
Pihaknya mencontohkan, di TPS 126 Condongcatur, Depok, Sleman yang sempat didatangi puluhan mahasiswa yang ingin menggunakan hak pilihnya hanya bermodal KTP.
“Setelah kami melakukan penelusuran di lapangan, mereka termakan hoaks,” sesalnya.
Mereka, kata Umi, menganggap dengan bermodal KTP bisa menggunakan hak pilihnya di TPS, meskipun namanya tidak tercantum dalam DPT maupun DPTb. Bahkan, puluhan orang tersebut sempat mengepung dan mengintimidasi KPPS karena tidak bisa menyalurkan hak pilihnya. Akibat protes tersebut, petugas terpaksa memberi mereka 21 surat suara untuk dicoblos sehingga harus menggelar PSU.
Umi menambahkan, hoaks serupa juga pernah terjadi menjelang Pemilu 2019. Bahkan, ketika itu seempat terjadi chaos di salah satu TPS desa Caturtunggal, Depok, Sleman hingga berujung PSU.
Meski demikian, pihaknya mengklaim bahwa pada Pemilu 2024 ini, isu hoaks relatif bisa ditekan, jika dibandingkan Pemilu 2019 lalu. Itu lantaran belajar dari Pengalaman Pemilu 2019.
Pada Pemilu 2024, Bawaslu membentuk tim yang bekerjasama dengan Kominfo dan aliansi Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) yang bergerak menangkal hoaks dan berita bohong, serta melalui patroli siber Polda DIY untuk mendeteksi informasi hoaks dan berita bohong di dunia maya sehingga bisa ditangkal atau bahkan di-takedown oleh Kominfo.
Jurnalis salah satu media online di Yogyakarta, Rizki Prasetya yang menjadi pembicara dalam acara tersebut berpendapat bahwa di satu sisi, media bisa berperan dalam mencerdaskan pemilih. Namun di sisi lain, tak dipungkiri bahwa publik cenderung bergeser ke platform media sosial, seperti tiktok dalam mencari informasi tentang politik. Itu karena kemasan isu-isu politik di media-media mainstream mayoritas terlalu berat.
Rizki menilai, pendidikan politik khususnya tentng Pemilu merupakan masalah yang kompleks sehingga membutuhkan dukungan banyak pihak yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Salah satunya Media. Jika keterlibatan banyak pihak pendukung itu dilakukan secara masif, maka ke depan, pendidikan politik tidak lagi menjadi sesuatu yang pelik bagi publik.
Sedangkan pembicara lainnya, Ketua Divisi Hubungan Antarlembaga Koalisi Pewarta Pemilu dan Demokrasi (KPPD), Negus Gibran Mayardhi menyampaikan, tidak menjadi penyebar hoaks dan instrumen dalam menyebarkan ujaran kebencian adalah bentuk dari tanggung jawab media kepada publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Sementara dalam pemberitaan Pemilu, seut Gibran, Pers berperan memberikan akses informasi kepada publik, mengedukasi mereka, melakukan pencegahan dan pengawasan pelanggaran, mengawal proses tahapan Pemilu, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat. (Rep-01)