Ilustrasi: Penggalan film “Ketika Gempa Kita Bersatu” (dok. istimewa)
BANTUL (kabarkota.com) – Pagi itu, Ema bersama teman-temannya di Karang Taruna Giribakti tengah memberikan materi penanggulangan bencana gempa bumi kepada siswa-siswi SD di salah satu SD di Desa Girirejo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, DIY. Tiba-tiba guncangan besar terjadi, hingga anak-anak panik dan bersembunyi di bawah kolong meja. Setelah gempa berhenti, anak-anak tersebut dievakuasi ke halaman sekolah. Beruntung tak ada korban jiwa.
Sementara di tempat lain, Yanto, salah satu pemuda Girirejo, saat gempa terjadi, kakinya tertimbun reruntuhan bangunan hingga tak bisa berjalan sehingga harus dievakuasi warga dan mendapatkan penanganan darurat dari anak-anak karang taruna. Karena peristiwa itu, Yanto yang awalnya “anti” karang taruna akhirnya merasa malu dan berjanji akan bergabung dengan teman-teman di desanya, setelah sembuh nanti.
Narasi di atas bukan cerita yang sesungguhnya terjadi, melainkan penggalan film “Ketika Gempa Kita Bersatu”, karya pemuda – pemudi Karang Taruna Girirejo. Meski alur ceritanya terkesan sederhana, namun film yang dibuat sekitar tahun 2013 ini menjadi istimewa, khususnya bagi warga Desa Girirejo
Dari film berdurasi 40 menitan itu, anak-anak muda di desa tersebut belajar pentingnya mitigasi bencana, khususnya saat terjadi gempa bumi, dan menularkannya kepada masyarakat.
Ketua Karang Taruna Giribakti, Fitri Nurharyanto mengatakan, video partisipatori ini sengaja dibuat dengan melibatkan masyarakat setempat yang mayoritas mengetahui dan merasakan langsung peristiwa gempa dasyat di DIY, pada 27 Mei 2006 silam.
Menariknya, kata Fitri, karena ketika itu mereka sama sekali tahu bagaimana cara menggunakan kamera, sehingga malah berebut untuk “pegang” kamera.
“Saat diajak membuat video itu, kami sempat pesimis bisa gak ya,” ungkap Fitri, saat ditemui di Kradenan, 31 Agustus 2018.
Menurut Fitri, dalam film ini, selain mengedukasi masyarakat dalam hal penanggulangan bencana gempa, juga dibubuhi romantika percintaan antarpemuda karang taruna, sehingga ceritanya lebih menarik dan semakin mudah diterima oleh pemirsanya.
“Butuh waktu 2-3 bulan untuk menyelesaikan filmnya,” lanjutnya lagi.
Film Dilaunching di Tanah Lapang
Keberhasilan anak-anak muda di Karang Taruna Giribakti dalam membuat video partisipatori tentang kebencanaan ini tak lepas dari peran para fasilitator dari Etnoreflika, yang membimbing dan mendampingi mereka, selama proses pembuatan film berlangsung hingga akhirnya dilaunching bareng-bareng warga di tanah lapang.
Fasilitator lokal, Totok Hartanto membeberkan bahwa Etnoreflika merupakan kelompok bentukan alumni antropologi UGM yang menggunakan media Audio Visual (AV) untuk mengedukasi ataupun memfasilitasi masyarakat.
Awalnya, kata Totok, Etnoreflika yang digawangi oleh Noor Harsya Aryo Samudro datang ke desa Giriejo tahun 2006, tepatnya setelah gempa bumi dasyat mengguncang DIY. Termasuk juga di Girirejo yang terkena dampak cukup parah, karena 75% bangunan milik warga roboh dan tak layak huni lagi.
“Jadi tujuan awal Etnoreflika datang itu ingin memberikan kegiatan alternatif bagi anak-anak di sini pasca gempa, dengan memberikan kegiatan yang sekiranya bisa melupakan kesedihan mereka,” ucapnya.
Waktu itu, lanjut Totok, muncul ide membuat kegiatan menggunakan kamera analoh miliknya yang “selamat” dari gempa, untuk membuat adegan-adegan kecil, cerita-cerita tentang aktivitas mereka sehari-hari pasca gempa yang kemudian divisualkan, dengan produksi mereka sendiri.
“Tema kebencanaan itu muncul ketika sudah sekian lama berjalan,” ujarnya.
Sempat Ditolak Warga
Ditemui terpisah, Noor Harsya Aryo Samudro yang juga fasilitator video partisipatori dari Etnoreflika menceritakan, awal kedatangannya sempat ada penolakan warga setempat karena kegiatannya dianggap aneh. Di tengah warga masih sibuk memikirkan nasib mereka pasca gempa, tiba-tiba datang orang dari luar yang mengajak dan mengajari anak-anak menggunakan kamera.
“Mareka takut, kami akan menjual kesusahan mereka,” sebut Harsya yang ketika itu juga mengajar di ISI Solo.
Namun, seiring berjalannya waktu, warga akhirnya “luluh”, apalagi ketika anak-anak di desa Girirejo membuat Ajang Kreasi Seni Anak-anak Kradenan (Aksara) yang mereka koordinir sendiri dan dipertontonkan kepada warga, pada momen HUT RI 17 Agustus.
“Jadi pada 17 Agustus itu anak-anak membuat peringatan 17-an Agustus versi mereka, dengan pentas seni dan pemutaran film yang melibatkan anak-anak, dari usia TK hingga kelas 6 SD,” kenang anggota Bawaslu Kota Yogyakarta ini.
Itu yang menurutnya membuat warga terkejut hingga akhirnya mengakui kemampuan anak-anak mereka dalam membuat karya audio visual. Film perdana yang diproduksi anak-anak Kradenan menceritakan tentang kehidupan sehari-hari mereka, dan mengangkat kisah-kisah inspiratif warganya yang “survivor”, dengan menjalankan usahanya berjualan dawet, sup buah, lotek, dan sosis.
Setelah itu, pada tahun 2009 – 2013 pihaknya juga menggandeng Kader Karang Taruna Tanggap Bencana (Katana) untuk membuat film dokumenter tentang Penanggulangan Resiko Bencana tersebut.
Video Partisipatori Anak-anak Girirejo Diapresiasi Dunia
Suksesnya film karya anak-anak Girirejo, tak hanya meluluhkan hati orang tua mereka dan mematahkan anggapan negatif warga terhadap kehadiran Etnooreflika, tapi pencapaian besar lainnya adalah apresiasi dari berbagai pihak, termasuk NGO skala internasional, seperti UNDP. Di samping juga telah diikutkan berbagai festival film dokumenter. (sutriyati).