“Berita-Berita Media Tentang Merapi Tak Sehatkan Publik”

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Kepala BPPTKG DIY, Subandrio meminta pemberitaan media tentang Merapi menyehatkan bagi publik. Hal itu disampaikan Subandrio saat diskusi tentang Jurnalisme Sehat dalam Penanggulangan Bencana Erupsi Gunung Merapi, di Yogyakarta, Selasa (10/6).
"Jurnalisme sehat itu yang menenangkan warga di sekitar Merapi," jelas Subandrio.
Meski begitu pihaknya juga mengakui, masih adanya perbedaan pendapat dalam memahami proses yang terjadi dalam perkembangan di Merapi. Inilah yang biasanya menjadi konsumsi menarik bagi jurnalis, meskipun dampaknya yang tidak menarik. Padahal semestinyainformasi yang berkaitan dengan peningkatan status Merapi bersifat Tunggal dari Badan Geologi.
Pegiat Radio Komunitas (Radkom) Lintas Merapi FM, Jack Jenarto menganggap, jurnalisme yang tidak sehat cenderung merugikan, tidak hanya masyarakat melainkan juga Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Jack mencontohkan, informasi yang salah telah mengakibatkan warga di wilayah Deles, Klaten yang masuk dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) II kesulitan membangun titik kumpul utama, karena BPBD juga tidak sepenuhnya memahami informasi yang disampaikan di media.
"Ketakutan kami sekarang, BPBD Klaten akan mengadakan simulasi bencana Merapi kepada anak-anak SD", kata Jack. Simulasi tersebut justru akan menumbuhkan mindset pada anak-anak bahwa merapi itu jahat.
Oleh karena itu Jack menilai bahwa hal yang lebih tepat ditanamkan ke anak-anak tersebut adalah mendidik mereka untuk mengenali Merapi.
Jack juga menyayangkan masyarakat masih lebih percaya pada media-media mainstream dibandingkan media-media alternatif, seperti radio-radio komunitas di sekitar kawasan Merapi.
"Radio komunitas seolah hanya dianggap sebagai gerombolan orang-orang yang tidak jelas", ungkap Jack.
Jurnalis salah satu media mainstream nasional, Ahmad Arif yang telah beberapa kali melakukan peliputan bencana alam, baik dalam maupun luar negeri mengatakan bahwa pengetahuan tentang bencana itu sangat menentukan informasi yang akan disampaikan kepada publik.
Sayangnya, kata dia, pengetahuan jurnalis Indonesia tentang bencana masih terhitung minim.
"Budaya wartawan di Indonesia itu cenderung tidak ada spesifikasi", kata Ahmad. Padahal, jurnalisme bencana berpotensi besar  menjadi bencana baru jika tidak dipahami secara benar.
Jurnalis yang sudah 10 tahun malang melintang memberitakan tentang bencana alam ini berpendapat bahwa wartawan yang akan melakukan peliputan bencana seharusnya disiapkan khusus sehingga paham tentang hal-hal teknis di lapangan.
Selain itu, perspektif peliputan media mainstream semestinya lebih menitikberatkan pada pra bencana dan pasca bencana karena hal tersebut lebih efektif. Sedangkan, media-media alternatif, seperti media sosial atau pun radio bisa lebih aktif berperan saat terjadinya bencana. (jid/tri)

Pos terkait