DPR Dinilai Tak Serius Revisi UU ITE, Ini Faktanya

Ilustrasi (kominfo.go.id)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI  dinilai tak serius dalam merevisi Undang-Undang  Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurut direktur Yayasan Satu Dunia, Firdaus Cahyadi, ketidakseriusan itu terlihat dari belum rampungnya pembahasan di parlemen, padahal draft tersebut telah masuk ke dewan sejak pertengahan 2015 lalu.

Bacaan Lainnya

Firdaus menganggap, UU ITE perlu direvisi, khususnya pasal 27 ayat 3 karena telah membelenggu kebebasan berekspresi bagi setiap warga negara.

Data dari Safnet menunjukan, dari tahun ke tahun, pihak yang dijerat dengan UU ITE kian meningkat. Pada 2013, misalnya, ada 20 kasus pelanggaran UU ITE. Kemudian meningkat menjadi 41 kasus pada 2014, dan tahun 2015 lalu, jumlahnya sebanyak 62 kasus.

Ketidakseriusan itu, lanjut Firdaus juga terlihat dari wacana  pengurangan hukuman bagi pelanggar, dari 6 tahun menjadi 4 tahun. 

 “Saat ini justru sering muncul statement-statement dari pemerintah yang mengancam kebebasan publik untuk berpendapat. Misalnya Menkopolhukam Luhut Panjaitan, yang beberapa waktu lalu mengancam media sosial dan LSM,” sebut Firdaus , di Yogyakarta, selasa (26/1).

Terkait aturan pencemaran nama baik, Firdau berpendapat, semestinya hal itu cukup diatur dalam KUHP saja. Mengingat, lahirnya UU ITH justru membuat publik takut untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah.

“Sebelumnya, banyak gerakan sosial di media online, seperti save prita, cicak vs buaya, save KPK, atau tolak 6 tol. Tapi sekarang untuk mengkampanyekan hak hutan adat saja orang takut,” sesalnya.

Ditambahkan Firdaus, semestinya UU ITE memperjelas regulasi tentang pemblokiran website dan jaminan data pribadi di media sosial agar tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tak bertanggungjawab.

Senada dengan Firdaus, peneliti Pemantau Regulasai dan Regulator Media (PR2 Media) Wisnu Martha Adiputra menyebut, banyak  kasus-kasus janggal yang dikategorikan sebagai pelanggaran UU ITE. Di antaranya, seorang anak di Bogor dijerat dengan UU ITE setelah dilaporkan orang tua rekannya ke polisi, karena terlibat saling ejek.

“Semestinya ada sarana lain. Tidak harus langsung masuk pidana,” pinta Wisnu.

Pihaknya juga mendorong agar revisi UU ITE lebih ditekankan pada aspek transaksi, mengingat, selama ini perlindungan hak-hak publik masih sering diabaikan, seperti hak keamanan bertransaksi melalui lembaga keuangan, transaksi jual beli online, serta terkait rekam medis. (Ed-03)

Kontributor: Januardi

Pos terkait