Logo ACT (dok. fb Aksi Cepat Tanggap)
JAKARTA – Forum Zakat Nasional (FOZ) menegaskan, Aksi Cepat Tanggap (ACT) tidak termasuk bagian dari Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) yang berada di bawah naungan Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Penegasan tersebut disampaikan FOZ menyusul adanya liputan khusus media terkait fenomena pengelolaan dana kedermawaanan sosial keagamaan yang kini mendapatkan sorotan publik karena diduga terjadi penyelewengan.
Ketua FOZ, Bambang Suherman menjelaskan bahwa selama ini, konstruksi regulasi dan mekanisme pengawasan bagi OPZ di Indonesia sangat ketat dan rigid, sesuai dengan UU Pengelolaan Zakat.
“Terdapat mekanisme pengawasan berlapis dan melibatkan pemangku kepentingan yang beragam, seperti Kementerian Agama, BAZNAS, MUI, dan lain sebagainya guna meminimalkan potensi penyelewengan dana publik, serta peluang conflict of interest di dalam tubuh OPZ,” kata Bambang dalam siaran pers yang diterima kabarkota.com, pada Rabu (6/7/2022).
Selain itu, lanjut Bambang, FOZ menerapkan mekanisme pengawasan internal OPZ yang mencakup audit internal dan pengawas syariah yang terakreditasi MUI. termasuk juga mekanisme pengawasan eksternal yang melibatkan audit kepatuhan syariah oleh Kemenag, serta pelaporan per semester ke BAZNAS.
“Regulasi juga mewajibkan setiap OPZ untuk diaudit oleh Kantor Akuntan Publik dan mempublikasikannya melalui kanal komunikasi yang tersedia,” sambungnya.
Lebih lanjut Bambang mengungkapkan, pihaknya telah menyusun dan mengesahkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang pengelolaan zakat. Ini sebagai bentuk penguatan ekosistem zakat yang menjunjung tinggi transparansi pengelolaan keuangan, dan akuntabilitas program, serta manajemen organisasi pengelola zakat.
Irvan Nugraha selaku Sekretaris Umum FOZ menambahkan, penggunan alokasi dana operasional OPZ juga diatur sangat ketat, dengan mengacu pada Fatwa MUI No. 8 tahun 2020 tentang Amil Zakat dan Keputusan Menteri Agama No. 606 tahun 2020 tentang Pedoman Audit Syariah. Yakni, tidak melebihi 1/8 atau 12,5 persen dari jumlah penghimpunan dana zakat dan 20 persen dari jumlah dana infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya dalam satu tahun.
Hanya saja, Irvan mengaku, mekanisme pengawasan, kode etik lembaga, serta standar kompetensi tersebut hanya berlaku bagi organisasi pengelola zakat di bawah payung hukum Undang-Undang no. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Sedangkan di luar entitas tersebut, payung hukum dan mekanisme pengawasan yang dijadikan acuan berbeda serta tidak menjadi bagian dari ekosistem zakat, seperti ACT.
Padahal, kata dia, tingkat kepatuhan dan kedisiplinan OPZ terhadap regulasi, mekanisme pengawasan, kode etik, serta standar kompetensi pengelolaan zakat menjadi titik tumpu yang turut menyumbang tumbuh kembangnya kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan dana kedermawanan publik melalui OPZ.
“Hal ini sekaligus mendukung upaya pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan di pelosok negeri,” anggapnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif FOZ, Agus Budiyanto memaparkan, pada tahun 2021, anggota FOZ dalam Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) turut berkontribusi kepada masyarakat terdampak COVID-19 di 34 provinsi, dengan total penerima manfaat mencapai 3.05 juta jiwayang terbagi atas tiga sektor. Pertama, sektor UMKM kepada 323,850 jiwa penerima manfaat ekuivalen dengan 32,385
UMKM. Kedua, sektor Kesehatan yang berkontribusi terhadap 763,570 jiwa penerima manfaat. Ketiga, sektor Perlindungan Sosial yang memberikan manfaat kepada 1,969,234 jiwa.
“Pendistribusian yang kami lakukan senantiasa mengacu kepada peraturan dan aspek syariah yang ditetapkan Kementerian Agama dan BAZNAS,” ucapnya.
Pihaknya juga mengapresiasi kepercayaan dan amanah yang dititipkan masyarakat kepada
setiap anggota FOZ. Harapannya, kepercayaan dan amanah itu dapat meningkat seiring dengan upaya peningkatan standar OPZ dan mutu layanan kepada masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
FOZ merupakan asosiasi lembaga pengelola zakat yang berfungsi mewadahi Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) di seluruh Indonesia, dengan jumlah anggota sekitar 196 lembaga dari Aceh hingga Papua. Fungsi utamanya sebagai penguatan kapasitas dan kompetensi pengelola, advokasi, sinergi, serta kolaborasi program-program pengentasan kemiskinan, serta pemberdayaan komunitas masyarakat. (Ed-01)