Saksi Ahli Ketenagakerjaan UGM, Ari Hernawan tengah memberikan pemaparan dalam sidang gugatan UMK DIY 2017, di PTUN Yogyakarta, Kamis (13/4/2017). (Sutriyati/kabarkota.com)
BANTUL (kabarkota.com) – Surat Keputusan (SK) Gubernur DIY No 235/KEP/2016 tentang Penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Tahun 2017 telah digugat oleh Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY), sejak 19 Januari 2017, dan disidangkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Pada persidangan Kamis (13/4/2017), dua saksi ahli dihadirkan guna memaparkan pandangan mereka dari kacamata akademisi terkait gugatan para buruh tersebut. Keduanya adalah Ahli Ketenagakerjaan dari UGM, Ari Hernawan, dan Ahli Administrasi Negara UAJY, Hengky Widhi Antoro.
Dalam paparannya di hadapan Majelis Hakim, Ari Hernawan menilai bahwa Peraturan Pemerintah (PP) No 78 Tahun 2015 yang menjadi dasar penetapan UMK kurang berpihak pada pekerja. Sebab, parameter yang dipakai dalam penetapan UMK hanya dikaitkan pada kebutuhan fisik pekerja saja, tanpa mempertimbangkan kebutuhan keluarga pekerja.
“Padahal, pekerja itu bisa saja ketika dia mulai bekerja sudah berkeluarga. Sementara, dalam UMK itu Kebutuhan Hidup Layak (KHL) itu hanya dihitung untuk kebutuhan pekerja lajang, selama satu bulan,” kata Ari.
Menurutnya, ada ketidakharmonisan antara Undang-undang No 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan dengan PP No 78 Tahun 2015. Mengingat, pasal 88 UU Ketenagakerjaan pada intinya menyebutkan, kebijakan pengupahan harus melindungi buruh. Namun, peran dewan pengupahan menjadi tak lagi penting, karena ketika hendak memberikan rekomendasi kepada pemerintah berdasarkan survei, sudah ada data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menjadi patokan penentuan UMK, sesuai dalam PP tersebut.
Adapun formulasi penentuan UMK menurut PP No 78 Tahun 2015, menggunakan UMK tahun berjalan, tingkat inflasi, dan pertumbuhan ekonomi dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang angka-angkanya dirilis oleh pemerintah, melalui BPS.
Sedangkan Hengky berpendapat bahwa tahapan pembuatan SK Gubernur yang mengacu pada UU No 30 Tahun 2015 semestinya memenuhi tiga aspek, yakni kewenangan, wilayah berlakunya keputusan, dan substansi.
“Apakah SK itu dibuat sesuai dengan Standart Operating Procedure (SOP) yang mengedepankan dimensi partisipatif?” ujar Hengky.
Ditemui usai persidangan, Kuasa Hukum Gubernur DIY, Adi Bayu Kristanto mengklaim, SK Gubernur No 235/KEP/2016 telah dibuat sesuai prosedur dalam perundang-undangan.
“Mekanismenya sudah sesuai dan formulasinya juga sesuai dengan pasal 44 ayat 1 PP No 78 Tahun 2015 yang itu juga berlaku di seluruh Indonesia, tidak hanya di DIY saja,” tegasnya.
Sebelumnya, pada 19 Januari 2017 lalu, ABY menggugat SK Gubernur DIY tentang Penetapan UMK tahun 2017 karena dinilai tak mengakomodir permintaan buruh yang diwakili oleh delapan serikat pekerja di DIY. Menurut mereka, UMK di DIY seharusnya berkisar antara Rp 2 juta – Rp 2,5 juta per bulan. Namun, pada kenyataannya hanya di kisaran Rp 1,3 juta – Rp 1,5 juta per bulan. (Rep-03/Ed-03)