Tim Respon Cepat Waspada Antraka Fakultas Kedokteran UGM menggelar jumpa pers terkait isu antraks, di ruang Fortagama, Sabtu (21/1/2017). (sutriyati/kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Masyarakat di Yogyakarta tengah diresahkan dengan isu merebaknya penyakit antraks, yang baru-baru ini disebarkan melalui media sosial oleh pihak yang tak bertanggung-jawab. Bahkan, dalam pesan berantai yang telah beredar luas termasuk di kalangan pers, masyarakat diminta untuk tidak berkunjung ke wilayah Godean Sleman, serta RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, karena tidak steril dari bakteri menular itu. Terlebih ada belasan pasien antraks yang tengah dirawat di rumah sakit tersebut.
Namun, Tim Respon Cepat Waspada Antraks Fakultas Kedokteran UGM dan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta menepis isu tersebut.
Ketua Tim Respon Cepat Waspada Antraka Fakultas Kedokteran UGM, Riris Andono Ahmad dalam jumpa pers, Sabtu (21/1/2017), menjelaskan bahwa selama ini, tidak ada kasus hewan antraks maupun penularan antraks ke manusia, di wilayah Godean, Sleman.
“Antraks itu bersumber dari binatang tapi tidak bisa menular dari manusia ke manusia,” kata Riris di ruang Fortagama UGM.
Karenanya, Riris meminta agar masyarakat tidak panik menyikapi isu tersebut, selama tetap menjalani pola hidup yang sehat, seperti mencuci tangan dengan menggunakan sabun, baik sebelum maupun sesudah makan.
Salain itu, masyarakat juga disarankan agar mengkonsumsi daging yang dibeli dari tempat pemotongam hewan bersertifikat. “Jika memasak atau mengkonsumsi daging kambing atau sapi, pastikan daging itu dimasak dengan matang hingga suhu 120 derajat celcius dan benar-benar telah matang,” pintanya.
Abu Tholib dari Departemen Mikro Biologi Fakultas Kedokteran UGM menambahkan, penularan antraks dominan pada hewan, dan lebih dari 99 persen merupakan jenis antraks kulit yang pada akhirnya sembuh.
“Dalam banyak kasus di berbagai negara, orang yang terkena 8 ribu spora antraks dalam delapan jam tidak akan terjadi apa-apa, karena ketika spora itu masuk, maka lendir di saluran pernafasannya akan menetralisir kemudian dikeluarkan lagi,” tegasnya.
Antraks baru bisa dikatakan berbahaya, lanjut Abu Tholib, saat jumlah sporanya melebihi 10 ribu dalam sekali masuk. Itu pun jika dalam tubuh terdapat luka dan tergantung pada ketahanan tubuh masing-masing.
Sementara pihak RSUP Dr. Sardjito, melalui siaran persnya juga membantah adanya belasan pasien terjangkit antraks yang tengah dirawat. Direktur Medis dan Keperawatan RSUP Dr. Sardjito, Rukmono Siswihanto mengaku, hanya ada satu pasien di rumah sakit, yang mengarah atau diduga antraks.
“Kami mengimbau kepada masyarakat agar tidak khawatir, sebab RSUP Dr. Sardjito aman untuk dikunjungi maupun berobat,” tegas Rukmono.
Terkait satu pasien itu, Kepala Pediotric Intensive Care Unit (PICU) RSUP Dr. Sardjito, Noornaningsih mengungkapkan, pada tanggal 31 Desember 2016, pihak rumah sakit menerima satu pasien anak, rujukan dari RSUD Sleman, dengan kondisi penurunan kesadaran disertai kejang.
Karena kondisinya tersebut, pasien yang awalnya berada di Instalasi Gawat Darurat (IGD), dipindahkan ke unit PICU Anak. Namun, pada tanggal 6 Januari 2017, pasien yang didiagnosa mengalami infeksi selaput otak terabut dinyatakan meninggal dunia. Mengingat, sejak awal dirawat, pasien sudah tidak memiliki respon pernafasan yang bagus.
Sedangkan dari hasil laboratorium darah (kultur) yang baru keluar setelah pasien meninggal, menunjukkan adanya infeksi bakteri. “Namun demikian, kami masih perlu melakukan serangkaian pemeriksaan lebih detail, untuk memastikan bakteri itu adalah antraks,” paparnya. (Rep-03/Ed-03)