JAKARTA (kabarkota.com) – Aksi Superdamai 212 yang digelar umat Islam di Silang Monas Jakarta, Jumat (2/11/2016) sungguh menggugah kesadaran tertinggi dalam kehidupan kebangsaan Republik Indonesia. Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir.
“Kita seluruh warga bangsa dibuat kagum dan simpatik atas kehadiran jutaan umat yang yang membawa suara damai,” kata Haedar.
Menurutnya, aksi 212 patut diapresiasi tinggi, karena menunjukkan kematangan sikap dan keluhuran budi umat Islam Indonesia. Kepolisian dan TNI serta seluruh aparat keamanan juga layak memperoleh penghargaan, karena menurut Haedar mampu mengawal jalannya aksi secara damai dan tertib.
“Warga masyarakat Jakarta yang tidak ikut aksi pun menunjukkan kedewasaan dan toleransi tinggi,” pungkasnya.
Menurut Haedar, terdapat pesan penting dari aksi damai 212 itu. Pertama,aksi tersebut ditunjukkan dengan aktivitas spiritual dalam wujud dzikir, taushiyah, dan puncaknya shalat Jum’at berjamaah.
“Aksi seluruh komponen umat Islam dari Jakarta dan sekitarnya serta berbagai pelosok tanah air sangat simpatik, sejuk, tertib, dan ramah. Gelora damai sangat terasa, bukan hanya dari sikap peserta aksi yang tampak sejuk dan menyebarkan sikap bersahabat, bahkan tidak ada satu helai tumbuhanpun yang terganggu,” ujar Haedar.
Artinya, tambah Haedar, Aksi 212 tersebut semakinmemperkuat dan membuktikan kepada publik, bahwa umat Islam Indonesia memberi contoh membawa misi damai dalam kata dan tindakan. Sekaligus menjadi pesan ke publik, tudingan umat Islam garang dan suka menimbulkan keributan, apalagi jika sering dikaitkan dengan teror, sangatlah tidak tepat. Tudingan tersebut tentu hanya stigma negatif kepada umat Islam.
Kedua, keberhasilan Aksi damai 212 ini menurut Haedar bukan hanya milik umat Islam, tetapi milik bangsa secara keseluruhan. Jika kasus penistaan agama itu nanti berujung pada hukuman yang setimpal sebagaimana tuntutan utama aksi damai, maka yang diuntungkan sesungguhnya seluruh umat beragama dan warga bangsa.
“Tidak boleh siapapun berkata dan berbuat sekehendaknya di negeri ini yang menodai agama dan melukai hati umat beragama,” tegas Haedar.
Maka menurut Haedar, tidak heran manakala warga masyarakat yang tidak ikut aksi pun menunjukkan simpatinya. Mereka dewasa dan tetap melakukan aktivitas sehari-hari. Meski ada ruang publik yang terpakai, warga toleran dan memahami. Mereka sama sekali tidak merasa takut.
Ketiga, pesan moral kepada aparat penegak hukum. Bahwa meski aksi yang melibatkan jutaan orang itu dilakukan dalam aktivitas ruhaniah, sesungguhnya menyuarakan tuntuan moral tinggi untuk tegaknya hukum seadil-adilnya dan setimpal atas kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaya Purnama alias Pak Ahok. Mereka menuntut keadilan tanpa pandang bulu, bukan yang lain.
“Aparat harus berdiri tegak di atas hukum berkeadilan yang jujur dan sejati. Meski aksi massa itu caranya spiritual melalui do’a dan shalat Jum’at, mestinya harus ditangkap oleh aparat penegak hukum yang menangani kasus tersebut untuk bersungguh-sungguh menegakkan hukum yang adil dengan penanganan superekstra sebagaimana aspirasi dan tuntutan rasa keadilan umat,” pungkas Haedar.
Lanjut Haedar, tanggungjawabnya bukan hanya dengan umat, tetapi dengan Allah Yang Mahaadil dan Mahakuasa.
(muhammadiyah/ed-02)