Ilustrasi: Bendera-bendera Parpol berjajar di sepanjang Fly Over Jombor (dok. kabarkota.com)
BANTUL (kabarkota.com) – Menjamurnya sampah visual di DIY, seperti Alat Peraga Kampanye (APK) jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 membuat gerah Komunitas Sampah Visual.
Sumbo Tinarbuko selaku inisiator Reresik Sampah Visual mengaku prihatin, dengan penyebaran sampah visual berupa APK maupun iklan politik yang ia anggap sebagai teroris visual di ruang publik.
“Fenomena menjamurnya sampah visual iklan politik di ajang kampanye capres dan caleg ini, membuat keberadaan DIY menjadi cacat tercoreng,” kata Sumbo melalui siaran persnya, Rabu (30/1/2019).
Sumbo berpendapat, secara politik, semestinya DIY mengambil peran sebagai kota budaya. Sebuah kota dengan payung kebudayaan yang layak menjadi wilayah percontohan bagi pelaksanaan kampanye politik capres dan caleg yang komunikatif, nyeni dan berbudaya. Oleh karenanya, capres dan caleg beserta parpol dan tim suksesnya, seharusnya memberikan contoh positif.
“Mereka seharusnya mampu menghadirkan sebentuk kampanye politik yang menjadikan APK dan iklan politik sebagai sebuah dekorasi kota yang komunikatif, artistik, menarik dan unik. Bukan malah sebaliknya seperti terjadi sekarang ini: sampah visual iklan politik dan APK milik mereka justru mengotori wajah DIY,” sesal Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta ini.
Akibat teroris sampah visual itu, anggap Sumbo, warga masyarakat tak hanya merasa tertekan kemerdekaan visualnya, melainkan bencana sosial juga menimpa di ruang publik.
“Aksi teroris visual atas perintah peserta Pemilu 2019 kemudian secara sembarangan menyebar, memakukan dan menempelkan sampah visual iklan politik dan APK di berbagai sudut tembok warga. Di pagar jembatan, tiang listrik, gardu dan tiang telepon, dahan pohon serta tiang rambu lalulintas yang ada di ruang publik Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunung Kidul,” sebutnya.
Atas dasar itu, Komunitas Reresik Sampah Visual merumuskan lima sila sampah visual yang dapat dijadikan rujukan dalam membuat aturan hukum terkait dengan penatanaan dan pengawasan iklan politik dan iklan komersial di ruang publik.
Kelima Sila Sampah Visual yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1) iklan politik dan iklan komersial tidak boleh dipasang di trotoar,
2) iklan politik dan iklan komersial tidak boleh dipasang di taman kota dan ruang terbuka hijau,
3) iklan politik dan iklan komersial tidak boleh dipasang di tiang telepon, tiang listrik, tiang lampu penerangan jalan serta tiang rambu lalulintas,
4) iklan politik dan iklan komersial dilarang dipasang di jembatan serta bangunan heritage,
5) iklan politik dan iklan komersial tidak boleh dipasang serta dipakukan di batang pohon.
Komunitas Reresik Sampah Visual mengajak masyarakat luas, pemerintah, anggota DPRD, pejabat publik, capres dan caleg beserta tim suksesnya serta partai politik untuk membangun kesadaran bersama demi mewujudkan ruang publik tetap menjadi milik publik, bukan diprivatisasi menjadi milik merek dagang, milik caleg, milik capres atau milik partai politik.
“Ramah tidaknya sebuah kota bagi warga masyarakat dan wisatawan, salah satu indikatornya, sejauh mana Pemda di DIY mampu menekan tebaran sampah visual iklan politik dan iklan komersial yang cenderung menjadi teroris visual dan bencana sosial di ruang publik,” ucapnya. (Ed-03)