Ilustrasi (dok. istimewa)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Peringatan Hari Buruh Internasional atau Mayday tahun 2020 ini terasa sangat berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Pandemi virus Corona (Covid-19) yang melanda termasuk di DIY tak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga melumpuhkan segala sendi perekonomian. Akibatnya, buruh menjadi salah satu pihak yang paling merasakan dampak buruk dari wabah tersebut.
Berdasarkan data dari Pos Pengaduan untuk Hak Kesehatan dan Hak atas Pekerjaan yang digagas oleh Koalisi Masyarakat Sipil Terdampak Covid-19, per 21 – 30 April 2020, sedikitnya delapan kasus aduan dilaporkan oleh para buruh yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan dirumahkan.
Anggota Koalisi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia menyebutkan, para pengadu tediri dari tiga buruh berstatus outsourcing, tiga buruh kontrak, satu buruh tetap, dan satu buruh harian lepas (informal).
“Semua buruh yang mengadu pada kami mengalami PHK dan dirumahkan, tapi hak-haknya tidak dipenuhi sama sekali, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” jelas Julian dalam konferensi pers jarak jauh, Jumat (1/5/2020).
Posisi buruh atau pekerja, lanjut Julian, menjadi pihak yang paling dirugikan dengan adanya PHK maupun dirumahkan. Terlebih, bagi para pekerja harian, pekerja kontrak, dan outsourcing yang posisi tawarnya sangat lemah.
Lebih lanjut Julian menganggap bahwa tidak terpenuhinya hak-hak buruh itu tidak hanya disebabkan oleh Pandemi Covid-19, melainkan juga sebagai akumulasi kegagalan pemerintah dalam menyusun kebijakan yang cenderung tak memberikan perlindungan yang layak bagi buruh.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan Undang-Undang No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, anggap Julian, belum sepenuhnya menjamin dan berpihak kepada buruh.
“Kedua ketentuan tersebut justru telah menghilangkan peran negara dalam melindungi hak-hak warga negaranya dari pihak ketiga atau Pengusaha, demi mengamankan kepercayaan pasar bebas dan investasi di Indonesia,” sesalnya.
Bahkan, Julian menilai, kondisi tersebut masih diperparah dengan adanya RUU Cipta kerja dengan mekanisme Omnibus yang salah satu klusternya tentang ketenagakerjaan.
“Kebijakan reformasi hukum perburuhan ini adalah embrio ketiadaan jaminan buruh kontrak dan outsourcing di Indonesia,” ucapnya.
Selain hak atas pekerjaan, Pos Pengaduan ini juga fokus pada isu hak atas kesehatan. Menurut Julian, meskipun belum menerima pengaduan dari masyarakat, hal tersebut bukan berarti tidak ada permasalahan.
Pihaknya mensinyalir, tidak adanya laporan itu, lantaran masyarakat yang sehat dan belum terpapar virus covid-19 kemungkinan merasa tidak ada permasalahan yang menimpa dirinya terkait akses kesehatan dimasa Pandemi Covid-19.
Kemungkinan Kedua, bagi warga yang telah berstatus PDP ataupun ODP belum mengetahui informasi tentang hak-haknya dalam akses kesehatan, serta belum mengetahui prosedur pengaduannya.
Kemungkinan ketiga, imbuhnya, selama Pandemi-Covid-19 ini warga yang terdampak Pandemi Covid-19 di akses kesehatan atau pangan lebih luas daripada warga yang terdampak langsung Covid-19 di kesehatan. Keempat, minimnya kesadaran pemerintah untuk berperan secara responsif menjalankan kewajibanya dalam memenuhi hak atas kesehatan/pangan bagi warga negara di masa Pandemi Covid-19
Sementara angota koalisi dari Front Perjuangan Rakyat (FPR) Yogyakarta, Erlangga HB menuntut pada pemerintahan Jokowi – Ma’ruf untuk bertanggung-jawab memberikan juaminan kesehatan dan pangan gratis bagi seluruh rakyat Indonesia, selama pandemi.
Erlangga berpandangan bahwa di satu pihak, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf menerapkan kebijakan kerja dari rumah (work from home), serta menghentikan aktifitas pendidikan Sekolah Dasar hingga Perguruan tinggi. Namun di lain pihak, kaum buruh dipaksa bekerja di tengah potensi penularan pandemi corvid-19 sangat tinggi. Rakyat pekerja yang lain juga terpaksa bekerja di tengah ancaman virus karena tuntutan kebutuhan hidup.
“Rakyat pekerja yang bekerja baik disektor formal maupun informal yang merupakan populasi terbesar dari rakyat Indonesia adalah golongan yang paling rentan terkena infesksi Covid-19,” anggapnya.
Erlangga juga menyayangkan penanganan pandemi Corona yang berisi kebijakan fiskal dan nonfiskal, penundaan pengenaan PPH impor dan pengurangan PPH sebesar 30% yang berlaku sejak tanggal 31 Maret 2020, sebagai kebijakan yang tidak adil.
Untuk itu pihaknya secara tegas menolak Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi yang Mengabdi kepada Kepentingan Imperialisme dan telah menyengsarakan kaum buruh, petani, serta merampas kedaulatan Indonesia. (Rep-01)