Meski Rumit, Penyelenggara Diminta tak Terburu-buru Mengganti Sistem Pemilu Serentak

Sarasehan tentang Pemilu di UGM, Jumat (26/4/2019). (dok. kabarkota.com)

SLEMAN (kabarkota.com) – Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengakui pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak yang baru pertama kali digelar di Indonesia pada 17 April 2019 lalu sangat rumit dan memunculkan berbagai permasalahan di lapangan.

Bacaan Lainnya

Komisioner KPU RI, Pramono Ubaid Tanthowi mengungkapkan, di antara permasalahan itu terkait ketersediaan surat suara yang terbatas. Sementara, ada Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) yang mencapai 800-an ribu di seluruh Indonesia.

“Yang menyulitkan bagi kami adalah memenuhi ketersediaan surat suara,” kata Pramono dalam Sarasehan tentang Pemilu di UGM, Jumat (26/4/2019)

Menurutnya, berdasarkan pasal 344 ayat 2 Undang-Undang (UU) Pemilu, surat suara yang dicetak sebesar DPT + cadangan 2% dari DPT. Sementara pasal 350 ayat 2 mengamanatkan jumlah surat suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebesar DPT + DPTb + cadangan 2% dari DPT.

Selain itu, Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Legislatif (Pileg), dan Pemilihan DPD yang dibarengkan dengan lima surat suara sekaligus memunculkan kerumitan tersendiri, khususnya bagi petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di TPS. Terlebih, proses pemungutan dan penghitungan suara dilakukan secara manual sehingga membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan tugas mereka.

Berdasarkan simulasi, kata Pramono, penghitungan suara untuk surat suara Pilpres dan Pemilihan DPD, masing-masing membutuhkan waktu sekitar 45 menit. Sedangkan Pileg, waktu yang dibutuhkan kurang lebih 1 jam 30 menit per kotak suara.

“Pemilu 2014, dengan empat surat suara saja, sebagian TPS menyelesaikan lewat tengah malam,” ucapnya. Itu sebabnya pada Pemilu 2019 ini, banyak petugas KPPS yang tak sanggup secara fisik. Bahkan ada yang kemudian jatuh sakit dan meninggal dunia.

Permasalahan lainnya, lanjut Pramono, terkait dengan maraknya hoaks, baik berupa disinformasi maupun fitnah yang ditujukan ke KPU. Berdasarkan data Mafindo, hingga 9 April 2019, sedikitnya ada 24 hoaks yang menyerang KPU. Salah satunya terkait hoaks tujuh kontainer surat suara dari Cina yang telah tercoblos dan sempat viral di media sosial.

“Mau tidak mau kami harus mengklarifikasi dan seterusnya,” tegasnya.

Bercermin dari berbagai permasalahan tersebut, maka pihaknya berharap agar Pemilu Serentak 2019 menjadi penyelenggaraan pertama sekaligus terakhir di Indonesia.

Pengamat Politik UGM, Mada Sukmajati berpendapat bahwa evaluasi atas penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 ini perlu dilakukan. Terlebih, sejumlah tujuan, seperti penyederhanaan sistem kepartaian, meredam konflik, serta efisiensi dalam pelaksanaan Pemilu Serentak tak tercapai.

“Kita memang harus melakukan evaluasi, tapi evaluasinya dalam tingkatan apa dulu? Apalah desain atau teknis penyelenggaraannya?,” anggap Mada.

Oleh karenanya, Dosen DPP Fisipol UGM ini juga meminta agar KPU tak terburu-buru mengganti sistem
untuk Pemilu mendatang.

Sementara Dosen Fisipol UGM, Kuskridho Ambardi menganggap, memisahkan antara Pilpres dan Pileg lebih baik dibandingkan melaksanakan Pemilu secara serentak. Bahkan jika perlu, ambang batas untuk pencalonan presiden diturunkan sehingga memungkinkan munculnya pasangan calon (paslon) yang lebih dari dua, guna meminimalisir polarisasi politik.

Sedangkan sosiolog UGM, Arie Sudjito meminta agar KPU bisa keluar dari paradigma lama yang hanya mengurusi teknis saja, tetapi juga perlu melakukan civic education.

“Paradigmanya diubah dengan lebih memfasilitasi pemilih. Kalau sekarang kan KPU lebih pada fasilitasi untuk para konsestan Pemilu,” sebutnya.

Berbeda halnya dengan pendapat staf khusus Presiden, AGGN, Ari Dwipayana yang menganggap bahwa transparansi menjadi modal penting bagi KPU untuk melihat pilihan sistem Pemilu yang akan datang. (Rep-02)

Pos terkait