Ilustrasi (liputan6.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Belum tuntas kasus vaksin palsu, baru-baru ini, publik kembali dikejutkan dengan terungkapnya peredaran obat-obatan ilegal dengan nilai produksi yang angkanya fantastis, dan diduga distribusinya telah menyebar ke sejumlah wilayah di Indonesia.
Pengamat kebijakan di bidang kesehatan masyarakat Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Sunarto Darsono berpendapat bahwa sebenarnya peredaran obat-obatan murah termasuk yang ilegal maupun palsu di pasaran bukan merupakan hal baru dan sudah lama terjadi. Hanya saja, kebanyakan pihak kurang peduli.
“Masing-masing pihak merasa diuntungkan. Penjual dapat menjual dengan lebih mudah, pembeli juga merasa dapat obat murah. Orang tidak mengkritisi ini palsu atau tidak,” kata Sunarto saat dihubungi kabarkota.com, Kamis (8/9/2016).
Sunarto menduga, munculnya persoalan obat palsu dan ilegal itu karena harga obat yang masih terlalu mahal untuk ukuran kebanyakan konsumen, sehingga banyak yang mencari “duplikat” alternatif obat lebih murah. Hal ini menjadi peluang bagi penyedia untuk berupaya memberikan permintaan konsumen tersebut, dengan keuntungan yang cukup menjanjikan.
“Menurut saya, pemerintah kesulitan mengontrol keluar masuknya obat-obatan itu di banyak tempat,” lanjut dosen ilmu kesehatan Fakultas Kedokteran UII ini.
Karenanya, Sunarto menganggap, pemerintah akan lebih mudah melakukan kontrol jika ada semacam pasar atau kumpulan apotek rakyat, dengan menempatkan Sumber Daya Manusia dari Kementerian Kesehatan, maupun institusi terkait, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sesuai dengan kebutuhan untuk melakukan pengawasan, mulai dari pabrik, distributor hingga tingkat apotek
“Kalau di era Jaminan Kesehatan Nasional sekarang ini, BPJS juga mempunyai kesempatan untuk mengontrol permintaan obat, jadi bisa bekerjasama dengan pihak terkait lain,” ucapnya.
Selain itu, Sunarto juga menambahkan, pemerintah harus memmberkan sosialisasi dan jaminan keamanan obat, termasuk menjamin ketersediaan obat murah dan aman untuk masyarakat.
“Semestinya perlu dipikirkan model pelayanan dan sistem informasi obat. Misalnya, apotek diharuskan terbuka menuliskan obat yang disediakan dan melaporkan barang masuk keluar,” ujarnya. (Rep-03/Ed-03)