Eksaminasi (Pengujian Ulang) UU Pemilu dan UU Pilkada, di Yogyakarta, Selasa (19/11/2019). (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Penyelanggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Serentak pada 23 September 2020 mendatang terancam tanpa adanya lembaga pengawasan Pemilu yang memiliki legitimasi.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DIY, Bagus Sarwono menjelaskan, ada permasalahan dalam kelembagaan pengawas Pilkada, karena adanya perbedaan dua Undang-Undang (UU) yang menjadi acuan penyelenggaraan Pilkada. Yakni, UU No 1 Tahun 2015 tentang Pilkada, dan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Kita tahu memang banyak disharmoni atau ketidaksesuaian antara UU Pemilu dan UU Pilkada ini,” kata Bagus kepada Kabarkota.com, usai menggelar Eksaminasi (Pengujian Ulang) UU Pemilu dan UU Pilkada, di Yogyakarta, Selasa (19/11/2019).
Menurut Bagus, dalam UU Pilkada, pihak yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah Kabupaten/Kota adalah Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang sifatnya ad hoc. Sedangkan di UU Pemilu, pengawasan penyelenggaraan Pemilu termasuk di tingkat daerah menjadi ranahnya Bawaslu.
“Dasar dari pembentukan Panwaslu itu dalam UU No 7 Tahun 2017 sudah dicabut,” tegas Bagus.
Oleh karenanya, sejak tiga bulan lalu, Bawaslu telah mengajukan Judicial Review atas UU Pilkada yang salah satu usulannya agar Ketentuan di Pasal 1 angka 17
UU Pilkada disesuaikan dengan bunyi ketentuan Pasal 1 angka 19 UU Pemilu, yakni semua pasal yang menyebut “Panwas Kabupaten/Kota” diubah menjadi “Bawaslu Kabupaten/Kota”. Namun, hingga kini belum juga ada putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK).
Jika nantinya MK tak mengabulkan peninjauan kembali atas pasal tersebut, maka lanjut Bagus, kemungkinan Bawaslu RI akan membuat terobosan baru, dengan menerbitkan SK ataupun Peraturan Bawaslu yang menyatakan bahwa Bawaslu Kabupaten/Kota adalah Panwaslu yang dimaksud dalam UU Pilkada.
Sementara Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Nasrullay berpendapat bahwa terobosan hukum yang akan dilakukan oleh Bawaslu untuk mengatur dirinya sendiri justru terkesan tidak wajar. Mengingat, berdasarkan aturan di UU No 12 Tahun 2011, institusi dalam konstitusi, seperti penyelenggara Pemilu tidak memiliki kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri.
“Meskipun KPU dan Bawaslu mempunyai kewenangan untuk membuat regulasi, tetapi regulasinya bersifat teknis dan tidak bersifat substantif,” anggapnya.
Untuk itu, Nasrullah menilai langkah yang paling tepat dilakukan Bawaslu memang meminta “fatwa” kepada yang bisa menafsirkan konstitusi, salah satunya melalui Judicial Review di MK. (Rep-01)