Yogyakarta – Politik yang dipegang dalam panggung perpolitikan di Indonesia sekarang ini sarat dengan kekuasaan yang berafiliasi pada infrastruktur politik. Variasinya mulai dari partai politik yang berwarna islam, nasionalis, dan juga liberalis. Hal tersebut disampaikan akademisi UGM, Mukhtasar Syamsuddin di Grand Mercure Hotel Yogyakarta,Kamis (5/01/2017)
Menurut Mukhtasar, melihat pada level fundamen atau persepsi mengenai tujuan bernegara di Indonesia seharusnya itu yang dibangun, cita-cita yang ingin dicapai oleh partai politik yang berdasar pada islam, nasionalisme, liberal itu mau bawa kemana.
“Sebagai alat atau instrument semua variasi praktek politik partai politk dan tujuan yang ingin dicapai bangsa ini. Secara formal tujuan pemerintah sekarang adalah mewujudkan Nawacita untuk dikelola bersama dan bagaimana cita-cita nasional ini dicapai,” ungkapnya.
Namun yang terjadi menurut dia, sekarang ini di luar dari harapan, partai politik menjadi pragmatis, terkesan mencari aman sehingga tidak ada lagi yang berkomitmen sebagai partai oposisi. Jadi siapa lagi yang akan diharapkan.
Dia menambahkan Forum ilmuwan Indonesia tetap bersedia menjadi kritikus, penyeimbang dan pengontrol konsistensi pemerintah menjalankan Nawacita dalam mengelola pemerintahan. Namun perlunya menyamakan persepsi untuk dipahami bersama bahwa filosofi bangsa ini yang sekaligus konstruksi cita-cita Negara adalah pancasila, dan yang perlu dijelaskan bahwa pancasila tidak bertentangan dengan nawacita yang diprogramkan oleh pemerintah.
Dosen Universitas Janabadra Yogyakarta, Cungki Kusdarjito memberikan penekanan bahwa Asia Timur disebut dengan Developmental State atau Negara yang mengedepankan pembangunan ada beberapa persyaratan yang harus di penuhi salah satunya unsur politik.
Pada jaman Orde Baru,kata Cungki sebenarnya sudah mengedepankan pembangunan atau Developmental State, dimana waktu itu Indonesia sudah swa sembada pangan dan masuk dalam macan asia, tapi dalam waktu singkat ambruk begitu saja dengan mudah karena ada persyaratan yang tidak terpenuhi.
Cungki menegaskan, salah satu kendala utama adalah birokrasi yang mumpuni.
Dalam kasus Jepang dan korea birokrasi itu diposisikan menjadi bagian yang utama dalam pembangunan. Jadi yang direkrut pada saat awal adalah orang-orang nilainya bagus di perguruan tinggi kemudian ditarik untuk mendukung pemerintahan.
Akademisi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Achmad Nurmandi mengatakan dari masa SBY sampai masa Jokowi atau sebelumnya, problem utama semua presiden adalah masalah birokrasi. Karena presiden walaupun bisa mengontrol menteri nya tapi 100 persen tidak bisa mengontrol dirjen sampai tukang ketik.
“Jadi kita bisa menghitung sebenarnya bahwa nawacita presiden itu tidak mungkin bisa tercapai 100 persen karena dihambat oleh birokrasi,” jelas Nurmandi.
Dia mencontohkan kasus terakhir adalah seorang deputi atau dirjen tertangkap suap. Di lain pihak pemerintah pusing menutupi defisit APBN dengan tax amnesty.
(Rep 05/ed 01)