Sri Widodo. (Sutriyati/kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Hidup sebagai penyandang tuna daksa, bukanlah perkara mudah bagi seorang Sri Widodo. Bapak dua anak yang kini menekuni dunia jahit-menjahit itu mengisahkan suka dukanya sebagai penyandang difabel, saat ditemui kabarkota.com, di kediamannya, dusun Bantarjo, Donoharjo, Ngaglik, Sleman, Rabu (3/12).
Karena keterbatasan fisiknya, Sri Widodo kecil tidak bisa selincah teman-teman sebayanya ketika itu yang ketika itu bisa berlari ke sana ke mari. Ia pun harus memupus keinginannya untuk bisa bersekolah sebagaimana ketiga saudara lainnya yang bahkan bisa menyelesaikan pendidikan ke perguruan tinggi.
Pupusnya harapan untuk bisa bersekolah itu, lantaran sejak usia 10 bulan, putra kedua dari pasangan Martono dan Muriyah ini mengalami kelainan di kakinya hingga menyebabkan dirinya tidak bisa berjalan secara normal. Kondisi ekonomi keluarganya yang ketika itu masih pas-pasan, serta tidak adanya kendaraan yang memadahi untuk antar-jemput dari rumah ke sekolah, memaksa Widodo harus belajar baca tulis secara otodidak dari tetangga-tetangganya.
Namun, pria kelahiran tahun 1959 ini tidak menyerah begitu saja. Sekitar tahun 1974, dirinya yang sudah mulai beranjak remaja, berinisiatif untuk mengikuti kursus menjahit guna mengasah ketrampilannya.
Kursus yang hanya sekitar 4 bulan itu pun tak berjalan mulus, karena lagi-lagi dia terkendala dalam hal mobilitas. Selain tidak ada yang antar-jemput karena kesibukan saudara tuanya waktu itu, Sri Widodo juga tak mampu menempuh perjalanan sendiri untuk mencapai ke lokasi kursus yang jaraknya sekitar 3 km.
Meski begitu, ia tak patah semangat. Untuk bisa menyelesaikan kursus menjahitnya, Widodo pun akhirnya menumpang tinggal di tempat kursus tersebut.
Widodo pun tidak langsung bisa mengaplikasikan ketrampilannya karena tidak adanya alat jahit yang bisa ia gunakan di rumahnya. Kedua orang tuanya yang sehari-harinya bertani tidak mampu langsung membelikan mesin jahit untuknya. "Saya mulai dibelikan mesin jahit itu baru sekitar tahun 1975," kisahnya.
Sejak itu, Widodo mulai merintis usaha jahitnya dari nol. Berbekal ketrampilan yang ia dapatkan selama kursus, pesanan demi pesanan mulai datang kepadanya. Ia mengaku, upah pertama yang ia terima ketika itu seharga Rp 125 per potong.
"Susahnya ya ketika sudah susah-susah menjahitnya, tapi tidak dibayar. Atau kadang saya harus mengganti kain pelanggan, karena rusak atau salah potong," ungkap dia.
Meski begitu, Widodo mengaku ikhlas menjalani usahanya, hingga akhirnya mampu menghidupi keluarga kecilnya, bersama istri dan dua putra-putrinya.
Ketekunan dan ketelitiannya dalam mengerjakan setiap pesanan, menjadikan pelanggan Widodo semakin meluas dan rata-rata dari kalangan menengah ke atas.
Kini, ayah dari Prasetyo Widodo dan Ratih A. Widodo ini mengaku sangat bersyukur, karena selain mampu mengentaskan putra-putrinya hingga lulus SMK, kini dirinya juga mampu merenovasi rumah peninggalan orang tuanya, serta memiliki mobil pribadi dari hasil jerih payahnya selama ini. "Saya kalau nyetir sendiri bisa meski pun tidak bisa mengendarai sepeda motor," katanya sembari tersenyum.
Hidup sebagai tukang jahit yang terhitung sukses di kampungnya, tidak lantas menjadikan seorang Widodo lupa diri. Dengan kesederhanaan dan kebersahajaannnya, suami dari Suwartinah ini tetap meluangkan waktunya untuk berbagi ilmu dan pengalaman kepada sesama penyandang tuna daksa, yang tergabung dalam Paguyuban Tuna Daksa Sleman.
Sebagai pionir dari paguyuban tersebut, tak jarang Widodo harus antar-jemput kawan-kawannya yang berada di beberapa tempat, untuk sekedar bisa berkumpul bersama. Selain itu, tempat usahanya juga sering menjadi "jujukan" (tujuan) untuk melakukan studi banding dari berbagai lembaga. "Saya tidak pernah merasa khawatir tersaingi karena membagikan ilmu yang saya miliki," tambahnya lagi.
Karenanya, di hari Penyandang Difabel Internasional ini, ia berpesan, agar para difabel tidak merasa minder dalam pergaulannya, dan senantiasa mengasah ketrampilan yang dimilikinya supaya bisa menjadi bekal untuk hidup mandiri di tengah keterbatasan fisiknya.
SUTRIYATI