Public Relation (PR) Manager salah satu hotel bintang tiga di Yogyakarta, Diaz Widyastari tengah menunjukkan sus Songgo Buwono sebagai salah satu menu andalan buka puasa. (sutriyati/kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Berburu kuliner di Yogyakarta, apalagi saat bulan Ramadhan tiba menjadi hal yang hampir tak pernah dilewatkan oleh masyarakat. Termasuk di dalamnya kuliner tradisional warisan raja Yogyakarta yang jarang ditemukan. Kalau pun ada, hanya di tempat-tempat tertentu.
Sebut saja sus songgo buwono, wedang ereng-ereng, dan manuk nom yang ketiganya menjadi menu favorit keluarga keraton Yogyakarta, secara turun-temurun hingga kini.
Bagi masyarakat awam, sepertinya makanan khas raja-raja kerajaan Mataram ini belum begitu familiar. Meskipun, sebenarnya juga sudah ada beberapa warung ataupun resto yang menyediakan sajian serupa.
Nah, untuk mengenalkan kuliner tradisional itu kepada masyarakat luas, salah satu hotel bintang tiga di kawasan jalan Diponegoro Yogyakarta berencana menjadikan tiga kuliner istimewa tersebut sebagai menu andalan di bulan Ramadhan.
Public Relation (PR) Manager salah satu hotel bintang tiga di Yogyakarta, Diaz Widyastari menjelaskan, pihaknya sengaja menyajikan ketiganya karena ingin menangkap kekayaan budaya Jawa, khususnya budaya makan masyarakat Jawa di Yogyakarta, khususnya saat bulan Ramadhan.
“Jadi di bulan Ramadhan itu, masyarakat Jawa khususnya di keraton, memiliki beberapa kekhasan. Untuk makanan pembuka, kami memilih sus Songgo Buwono,” kata Diaz, Jumat (5/5/2017).
Sus Songgo Buwono (sutriyati/kabarkota.com)
Pemilihan sus songgo buwono atau yang dikenal juga dengan burger Jawa itu bukan tanpa alasan. Menurut Diaz, selain rasanya yang cocok untuk berbuka puasa, kue yang sudah ada sejak jaman Sri Sultan Hamengku Buwono VII ini juga memiliki nilai filosofi.
Sus songgo buwono ini menggambarkan langit, bumi, dan seisinya. Selada yang diletakkan pada bagian dasar sus adalah simbol tumbuhan yang menyangga bumi, sehingga harus dijaga supaya terap lestari.
Kue sus dengan ragout potongan daging ayam atau sapi melambangkan bumi dan seisinya. Sedangkan gunung dan langit digambarkan dengan potongan telur rebus dan mayonaise di atasnya.
Konon, makanan yang bercitarasa gurih ini merupakan ide dari Sultan sendiri ketika itu, yang prihatin melihat kebiasaan makan rakyatnya kurang sehat. Makanan ini juga kadang menjadi salah satu kudapan lezat saat hajatan pernikahan. Harapannya, dapat menyangga kehidupan baru secara mandiri.
Sajian selanjutnya adalah wedang ereng-ereng khas dari kaki bukit Surocolo di Pundong, Bantul. Minuman warisan tradisi Jawa ini terbilang cukup unik, baik dari bahan maupun rasanya. Sekilas, tampilannya seperti kolak pisang, tetapi aroma rempah-rempahnya sangat kental. Hal itu karena wedang ereng-ereng diramu dari 10 jenis rempah-rempah. Diantaranya, jahe, kapulaga, pandan, serai, gula merah, dan potongan pisang.
Wedang ereng-ereng (sutriyati/kabarkota.com)
Sebagai makanan penutup akan disajikan Manuk Nom. Meskipun namanya identik dengan burung, tapi sebenarnya manuk nom adalah puding tape ketan hijau yang disajikan dengan emping melinjo. Rasanya sangat legit.
Manuk Nom (sutriyati/kabarkota.com)
Menurut sejarahnya, manuk nom adalah menu kesukaan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. (Rep-03/Ed-03)